Tidak ada rumah tangga yang bebas dari konflik. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, konflik adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan.
Di dalam bingkai rumah tangga, ada banyak sebab yang bisa menimbulkan
konflik. Perbedaan pola pikir, pola asuh, kebudayaan, pola pendidikan, dll.
Tingkat konflik dalam rumah tangga pun bisa bervariasi, dari yang levelnya
ringan, sampai yang levelnya berat. Mulai dari hanya sekedar menentukan program
tivi apa yang akan ditonton, sampai bentuk pengasuhan terhadap anak yang akan
diterapkan.
Namun bagaimanapun juga, kalau dikelola dengan baik, sebuah konflik
tidaklah harus bisa membuat perpecahan ataupun dampak yang besar bagi kedua
pasangan.
Menurut saya, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk dapat mengelola
konflik menjadi hal yang hanya akan menambah kebaikan dalam keluarga.
Preventif
atau Pencegahan
Pertama, miliki cinta
Ustadz Anis Matta Lc pernah berkata bahwa cinta adalah penerimaan yang utuh
terhadap pasangan, kelebihannya dan juga termasuk kekurangannya. Dengan begitu,
kita menjadi orang yang realistis, bahwa pasangan kita bukanlah malaikat yang
tanpa cacat, tidak punya cela; dengan penerimaan yang utuh ini pula kita bisa
memberikan ruang yang cukup luas untuk dapat kompromi dengan perbedaan-perbedaan
yang ada.
Kedua, masuki gerbang pernikahan dengan niat
karena Allah semata
Pernikahan adalah salah satu bentuk Sunnah Rasulullah SAW. Dengan
menjadikan landasan agama sebagai salah satu bentuk pondasi pernikahan, ada
kekuatan yang lebih yang Insya Allah bisa menahan gejolak konflik yang ada.
Untuk itulah, para pria diwanti-wanti oleh Nabi agar memilih pasangan hidup
dengan mengutamakan faktor agama sebelum faktor kecantikan, keluarganya, dan
hartanya. Begitupula para wali wanita, para ulama mengingatkan agar mereka
menikahkan anak-anak gadis mereka/yang berada dalam perwaliannya, dengan
pemuda-pemuda yang berakhlak baik.
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Hasan bin
Ali, "Aku mempunyai seorang putri. Siapakah kiranya yang patut menjadi
suaminya menurut engkau?", jawabnya, "Seorang laki-laki yang bertakwa
kepada Allah. Karena jika ia senang, ia akan menghormatinya dan jika ia sedang
marah, ia tidak suka berbuat zalim kepadanya". (Fiqh Sunnah, bab Memilih
Suami)
Ketiga, komunikasi yang sehat
Unsur-unsur komunikasi adalah adanya orang yang menyampaikan pesan, orang
yang menerima pesan, pesan itu sendiri, dan kedua belah pihak saling mengerti
pesan yang disampaikan. Bukanlah dinamakan sebuah komunikasi, jika
masing-masing pihak tidak dapat memahami pesan yang dimaksudkan salah satu
pihak.
Keterbukaan, kejujuran, dan kemampuan komunikasi yang baik seperti mampu
mengenali kondisi, situasi, waktu dan cara yang baik untuk menyampaikan pesan,
menjadi kunci dari sebuah komunikasi yang sehat.
Keempat, pahami kewajiban masing-masing
Sebelum menuntut hak dari pasangan, berkacalah dahulu dengan
kewajiban-kewajiban yang seharusnya kita jalankan. Seorang suami harusnya bisa
mendidik, mengajarkan sang istri dengan pendidikan agama yang benar, mencukupi
kebutuhannya, memberikan nafkah, mencintainya (menaruh rasa cemburu kepadanya),
tidak mendzaliminya, dst. Ini semua memerlukan pemahaman agama yang baik.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
Paling dekat dengan aku kedudukannya pada had
kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang
paling baik terhadap keluarganya. (HR. Ar-Ridha)
Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap
keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang
yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina
kaum wanita adalah orang yang tidak tahu budi. (HR. Abu 'Asaakir)
Di antara kewajiban-kewajiban suami yaitu,
Hakim Ibnu Muawiyah, dari ayahnya Radliyallaahu
'anhu berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah kewajiban seseorang dari
kami terhadap istrinya? Beliau menjawab: "Engkau memberinya makan jika
engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul
wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan menemani tidur kecuali di dalam
rumah." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, dan Ibnu Majah. Sebagian hadits
itu diriwayatkan Bukhari secara mu'allaq dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban
dan Hakim.
Begitupula dengan seorang istri yang shalehah, bisa menyenangkan, patuh
kepada suami -selama tidak bermaksiat kepada Allah SWT, dapat menjaga
kehormatannya, dan amanah jika suaminya sedang tidak bersamanya.
Allah 'Azza wajalla berfirman (dalam hadits
Qudsi): "Apabila Aku menginginkan untuk menggabungkan kebaikan dunia dan
akhirat bagi seorang muslim maka Aku jadikan hatinya khusyuk dan lidahnya
banyak berzikir. Tubuhnya sabar dalam menghadapi penderitaan dan Aku jodohkan
dia dengan seorang isteri mukminah yang menyenangkannya bila ia memandangnya,
dapat menjaga kehormatan dirinya, dan memelihara harta suaminya bila suaminya
sedang tidak bersamanya. (HR. Ath-Thahawi)
Namun demikian, sebuah pernikahan bukanlah interaksi kaku antara hak dan
kewajiban, tapi harus juga bisa fleksibel, lentur, dan ini memerlukan kepahaman
masing-masing pasangan.
Kelimat, pahami karakter, sifat, dan preferensi
sikap pasangan anda
Steven Covey di buku Seven Habit
for Highly Efective People mencantumkan salah satu kriteria bagi orang yang
efektif, yaitu seek first to understand, than to be understood, pahami
orang lain terlebih dahulu, sebelum meminta orang lain memahami anda.
Tiap individu itu unik, tidak ada yang sama. Bahkan dalam satu keluargapun,
antara kakak-beradik belum tentu memiliki karakter, sifat dan kesukaan yang
sama. Karenanya, pemahaman terhadap karakter, sifat dan kesukaan pasangan tentu
menjadi hal yang penting.
Cari tahu apa yang ia suka, yang ia tidak suka, yang ia senangi, yang ia
benci, yang membuatnya senang, yang membuatnya marah, dst. Serta kompromikan
hal itu dengan diri anda.
Keenam, bersyukurlah
Bagaimanapun kondisi pasangan anda, bersyukurlah, karena bisa jadi ia-lah
pasangan yang paling tepat buat anda. Jangan “lihat ke kanan-kiri” ketika ada
hal-hal yang kurang pada pasangan, sama-sama perbaiki, saling introspeksi, bersemangat
dalam meningkatkan kebaikan dalam diri masing-masing, juga pada diri pasangan
anda.
Kuratif atau Pengobatan
Begitu dilanda konflik, beberapa point berikut mungkin bisa berguna,
Pertama, tahan amarah
Sebel, kecewa, dan marah, adalah contoh bentuk-bentuk penyaluran emosi.
Marah tidaklah dilarang, apalagi kalau dikarenakan alasan yang tepat, di tempat
yang tepat, pada waktu/moment yang tepat, kepada orang yang tepat, dan dengan
kadar yang proporsional.
Emosi itu memang harus disalurkan, namun terkadang, ada beberapa cara-cara
lain yang lebih baik ketimbang menyalurkannya lewat kemarahan.
Seorang sahabat berkata kepada Nabi Saw, "Ya
Rasulullah, berpesanlah kepadaku." Nabi Saw berpesan, "Jangan suka
marah (emosi)." Sahabat itu bertanya berulang-ulang dan Nabi Saw tetap
berulang kali berpesan, "Jangan suka marah." (HR. Bukhari)
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi amarah yaitu berpindah
tempat (misal dari duduk kepada berdiri), mengambil air wudhu, dan membaca
ta’awudz (audzubillahiminassyaitannirrajim).
Menahan amarah ini tidaklah mudah, karenanya Rasulullah SAW berkata,
“Orang kuat itu bukanlah orang yang menang
bergulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika
marah.” (Muttafaq Alaihi.)
Kedua, jika emosi, tahan diri dari mengambil
keputusan yang bisa jadi akan disesali
Bila seorang dari kamu sedang marah hendaklah
diam. (HR. Ahmad)
Kita tentu tidak ingin menyesali suatu keputusan yang dihasilkan dalam
kondisi yang penuh emosi, karena pada saat ini, akal pikiran kita tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan dalil itu pula, ada beberapa ulama yang
menyatakan tidak sah talak seorang suami dalam keadaan marah.
Tenangkan diri terlebih dahulu, jernihkan pikiran, dinginkan kepala, agar
keputusan yang diambil tidak menjadi sesalan di kemudian hari.
Ketiga, koreksi diri
Jangan mudah menyalahkan pihak lain, coba koreksi diri juga, bisa jadi,
konflik yang terjadi diakibatkan oleh peran serta kita di dalamnya.
Keempat, berikan nasehat yang baik
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati
supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-'Asyr: 1-3)
Surat di atas berbicara tentang hubungan interaksi dengan semua muslim,
termasuk juga untuk pasangan kita.
Jika ada kelalaian/kekhilafan/kesalahan, akan lebih indah kalau teguran
yang keluar berupa nasehat yang baik, dengan kata-kata yang baik, dan dengan cara-cara
yang baik.
Bagaimana mungkin kita akan berkata dengan kata-kata yang tidak baik kepada
pasangan kita sendiri, sedang kepada orang-orang non muslim dan para penentang
Tuhan saja, Allah SWT telah memerintahkan kita agar berkata dengan cara yang baik?
Kelima, jika harus mempergunakan kekerasan
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar. (QS. An-Nisaa': 34)
Pada taraf konfik yang berat, dan sulit untuk diselesaikan, terkadang
konflik bisa diselesaikan dengan ketegasan.
Ada tahapan-tahapan yang harus dijalankan, nasihati terlebih dahulu,
setelah tidak bisa, lakukan pisah ranjang (namun masih di dalam satu rumah yang
sama), jika masih tidak memungkinkan, pukullah, dengan pukulan yang tidak
meninggalkan bekas dan tidak di wajah. Tahapan-tahapan ini tidak boleh dilakukan
dengan meloncati tahapan sebelumnya.
Namun dari berbagai sirah/sejarah Nabi yang saya baca, sepertinya saya
tidak pernah menemukan contoh ini. Ini berarti memang solusi seperti ini, hanya
untuk hal yang sangat kasuistik.
Satu-satunya contoh hukuman dengan kekerasan yang pernah saya baca dari
Nabi yaitu ketika Nabi Ayub AS harus melaksanakan sumpahnya untuk memukul
istrinya 100 kali, namun itu juga dengan mempergunakan rumput, yang pastinya
tidak akan seberapa sakit.
Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka
pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami
dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya
dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shaad:44)
Keenam, pihak ketiga
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisaa': 35)
Jika memang dirasa perlu, libatkan pihak ketiga yang bisa menjadi mediator,
fasilitator, bisa berupa pihak keluarga, maupun dari pihak profesional seperti
konselor pernikahan.
Ketujuh, jangan libatkan anak dalam pertikaian
Jangan membuat blok dalam rumah tangga, dengan mencari pendukung atau
sekutu dalam pertikaian yang terjadi antar pasangan.
Seorang anak bisa jadi sudah mengalami kebingungan sendiri dengan konflik
yang dialami orangtuanya, cukuplah sampai disitu saja beban yang dialaminya.
Kedelapan, ketika perceraian harus terjadi
Jika tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, dan harus diambil solusi
terburuk berupa perceraian, pastikan agar dilakukan dengan cara yang baik.
Pernikahan diawali dengan hal yang baik, maka sudah sepatutnya pula diakhiri
dengan cara yang baik.
Beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian selama proses perceraian
seperti sebagai berikut:
Talak tidak boleh dilakukan pada waktu pihak wanita berada dalam masa haid
atau nifas, talak baru dikatakan sah jika pihak wanita dalam keadaan bersih.
Ada masa iddah pasca talak, masa iddah adalah waktu jeda dengan rentang
waktu tiga kali bersuci dari haid, sehingga jelas tidak ada benih dari suami di
dalam rahim istri. Dan selama masa iddah ini, sang istri harus tetap berada
satu rumah dengan suami, dan dalam waktu iddah ini pula, kedua belah pasangan
boleh rujuk tanpa memerlukan pernikahan ulang kembali.
Jika telah memiliki anak, dengan adanya perceraian, korban terbesar adalah
sang anak. Jangan abaikan hak-haknya, dan bantu dia melalui krisis perceraian
kedua orangtuanya.
Jaga perasaan orangtua dan mertua juga sangat mungkin mengalami masa-masa
sulit dengan perceraian yang dialami anaknya. Perhatikan pula hal ini!
Kesembilan, bertaubat dan jadilah pemaaf
Tidak ada manusia yang sempurna, pasti ada kesalahan atau kelalaian yang
mungkin saja terjadi.
Bagi pihak yang merasa bersalah, lakukanlah syarat-syarat taubat.
Tinggalkan perbuatan dosa/kesalahan tersebut, menyesalinya, tidak mengulanginya
dan berbuat kebaikan untuk menutup keburukan-kesalahan di masa lalu. Lakukan
taubat nasuhah, sungguh-sungguh, karena pada dasarnya, anda tidak hanya sedang
melakukan kesalahan pada pasangan anda, tapi juga telah melanggar
komitmen/ikrar kepada Allah SWT.
Bagi pihak yang “dirugikan”, jadilah pemaaf, lanjutkan dan pertahankan
ikatan pernikahan anda dengan langkah-langkah yang lebih baik. Tidak mudah
memang untuk mengesampingkan perasaan sakit dalam hati, namun bukanlah suatu
hal yang tidak mungkin untuk melanjutkan pernikahan dalam bingkai yang baru dan
lebih baik.
* * *
Semoga dengan hal-hal tersebut di atas, konflik-konflik yang ada dalam
rumah tangga tidak menjadi sebuah hal yang menghancurkan ikatan pernikahan,
namun dapat dikelola dengan semangat yang positif.
Di luar itu semua, ingatlah agar selalu menjadi muslim yang bertakwa kepada
Allah dimanapun kita berada. Takwa berarti menjauhi segala larangannNya dan
melaksanakan segala perintahNya.
Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada,
iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia
dengan akhlak yang baik “ (HR At-Turmuzi)
Dengan bekal iman dan takwa, Insya Allah, tidak akan pernah ada konflik
yang terlalu besar untuk bisa dilalui kedua belah pasangan.
Dan jadikanlah keluarga, sebagai salah satu sarana untuk mencapai
keridhoanNya, untuk mencapai pintu surga, dan bersemangatlah untuk menjaga
ikatan keluarga agar bisa selalu berkumpul, baik di dunia, maupun nanti di
taman-taman surgaNya. Semoga, Insya Allah.