Sabtu, 12 September 2015

Manajemen Konflik Rumah Tangga


 
Tidak ada rumah tangga yang bebas dari konflik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan, perselisihan, pertentangan.

Di dalam bingkai rumah tangga, ada banyak sebab yang bisa menimbulkan konflik. Perbedaan pola pikir, pola asuh, kebudayaan, pola pendidikan, dll.

Tingkat konflik dalam rumah tangga pun bisa bervariasi, dari yang levelnya ringan, sampai yang levelnya berat. Mulai dari hanya sekedar menentukan program tivi apa yang akan ditonton, sampai bentuk pengasuhan terhadap anak yang akan diterapkan.

Namun bagaimanapun juga, kalau dikelola dengan baik, sebuah konflik tidaklah harus bisa membuat perpecahan ataupun dampak yang besar bagi kedua pasangan.

Menurut saya, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk dapat mengelola konflik menjadi hal yang hanya akan menambah kebaikan dalam keluarga.


Preventif atau Pencegahan

Pertama, miliki cinta

Ustadz Anis Matta Lc pernah berkata bahwa cinta adalah penerimaan yang utuh terhadap pasangan, kelebihannya dan juga termasuk kekurangannya. Dengan begitu, kita menjadi orang yang realistis, bahwa pasangan kita bukanlah malaikat yang tanpa cacat, tidak punya cela; dengan penerimaan yang utuh ini pula kita bisa memberikan ruang yang cukup luas untuk dapat kompromi dengan perbedaan-perbedaan yang ada.

Kedua, masuki gerbang pernikahan dengan niat karena Allah semata

Pernikahan adalah salah satu bentuk Sunnah Rasulullah SAW. Dengan menjadikan landasan agama sebagai salah satu bentuk pondasi pernikahan, ada kekuatan yang lebih yang Insya Allah bisa menahan gejolak konflik yang ada.

Untuk itulah, para pria diwanti-wanti oleh Nabi agar memilih pasangan hidup dengan mengutamakan faktor agama sebelum faktor kecantikan, keluarganya, dan hartanya. Begitupula para wali wanita, para ulama mengingatkan agar mereka menikahkan anak-anak gadis mereka/yang berada dalam perwaliannya, dengan pemuda-pemuda yang berakhlak baik.

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Hasan bin Ali, "Aku mempunyai seorang putri. Siapakah kiranya yang patut menjadi suaminya menurut engkau?", jawabnya, "Seorang laki-laki yang bertakwa kepada Allah. Karena jika ia senang, ia akan menghormatinya dan jika ia sedang marah, ia tidak suka berbuat zalim kepadanya". (Fiqh Sunnah, bab Memilih Suami)

Ketiga, komunikasi yang sehat

Unsur-unsur komunikasi adalah adanya orang yang menyampaikan pesan, orang yang menerima pesan, pesan itu sendiri, dan kedua belah pihak saling mengerti pesan yang disampaikan. Bukanlah dinamakan sebuah komunikasi, jika masing-masing pihak tidak dapat memahami pesan yang dimaksudkan salah satu pihak.

Keterbukaan, kejujuran, dan kemampuan komunikasi yang baik seperti mampu mengenali kondisi, situasi, waktu dan cara yang baik untuk menyampaikan pesan, menjadi kunci dari sebuah komunikasi yang sehat.

Keempat, pahami kewajiban masing-masing

Sebelum menuntut hak dari pasangan, berkacalah dahulu dengan kewajiban-kewajiban yang seharusnya kita jalankan. Seorang suami harusnya bisa mendidik, mengajarkan sang istri dengan pendidikan agama yang benar, mencukupi kebutuhannya, memberikan nafkah, mencintainya (menaruh rasa cemburu kepadanya), tidak mendzaliminya, dst. Ini semua memerlukan pemahaman agama yang baik. Rasulullah SAW pernah bersabda,

Paling dekat dengan aku kedudukannya pada had kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya. (HR. Ar-Ridha)

Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik dari kamu terhadap keluargaku. Orang yang memuliakan kaum wanita adalah orang yang mulia, dan orang yang menghina kaum wanita adalah orang yang tidak tahu budi. (HR. Abu 'Asaakir)

Di antara kewajiban-kewajiban suami yaitu,

Hakim Ibnu Muawiyah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah kewajiban seseorang dari kami terhadap istrinya? Beliau menjawab: "Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan menemani tidur kecuali di dalam rumah." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, dan Ibnu Majah. Sebagian hadits itu diriwayatkan Bukhari secara mu'allaq dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.

Begitupula dengan seorang istri yang shalehah, bisa menyenangkan, patuh kepada suami -selama tidak bermaksiat kepada Allah SWT, dapat menjaga kehormatannya, dan amanah jika suaminya sedang tidak bersamanya.

Allah 'Azza wajalla berfirman (dalam hadits Qudsi): "Apabila Aku menginginkan untuk menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat bagi seorang muslim maka Aku jadikan hatinya khusyuk dan lidahnya banyak berzikir. Tubuhnya sabar dalam menghadapi penderitaan dan Aku jodohkan dia dengan seorang isteri mukminah yang menyenangkannya bila ia memandangnya, dapat menjaga kehormatan dirinya, dan memelihara harta suaminya bila suaminya sedang tidak bersamanya. (HR. Ath-Thahawi)

Namun demikian, sebuah pernikahan bukanlah interaksi kaku antara hak dan kewajiban, tapi harus juga bisa fleksibel, lentur, dan ini memerlukan kepahaman masing-masing pasangan.

Kelimat, pahami karakter, sifat, dan preferensi sikap pasangan anda

Steven Covey di buku Seven Habit for Highly Efective People mencantumkan salah satu kriteria bagi orang yang efektif, yaitu seek first to understand, than to be understood, pahami orang lain terlebih dahulu, sebelum meminta orang lain memahami anda.

Tiap individu itu unik, tidak ada yang sama. Bahkan dalam satu keluargapun, antara kakak-beradik belum tentu memiliki karakter, sifat dan kesukaan yang sama. Karenanya, pemahaman terhadap karakter, sifat dan kesukaan pasangan tentu menjadi hal yang penting.

Cari tahu apa yang ia suka, yang ia tidak suka, yang ia senangi, yang ia benci, yang membuatnya senang, yang membuatnya marah, dst. Serta kompromikan hal itu dengan diri anda.

Keenam, bersyukurlah

Bagaimanapun kondisi pasangan anda, bersyukurlah, karena bisa jadi ia-lah pasangan yang paling tepat buat anda. Jangan “lihat ke kanan-kiri” ketika ada hal-hal yang kurang pada pasangan, sama-sama perbaiki, saling introspeksi, bersemangat dalam meningkatkan kebaikan dalam diri masing-masing, juga pada diri pasangan anda.


Kuratif atau Pengobatan

Begitu dilanda konflik, beberapa point berikut mungkin bisa berguna,

Pertama, tahan amarah

Sebel, kecewa, dan marah, adalah contoh bentuk-bentuk penyaluran emosi. Marah tidaklah dilarang, apalagi kalau dikarenakan alasan yang tepat, di tempat yang tepat, pada waktu/moment yang tepat, kepada orang yang tepat, dan dengan kadar yang proporsional.

Emosi itu memang harus disalurkan, namun terkadang, ada beberapa cara-cara lain yang lebih baik ketimbang menyalurkannya lewat kemarahan.

Seorang sahabat berkata kepada Nabi Saw, "Ya Rasulullah, berpesanlah kepadaku." Nabi Saw berpesan, "Jangan suka marah (emosi)." Sahabat itu bertanya berulang-ulang dan Nabi Saw tetap berulang kali berpesan, "Jangan suka marah." (HR. Bukhari)

Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi amarah yaitu berpindah tempat (misal dari duduk kepada berdiri), mengambil air wudhu, dan membaca ta’awudz (audzubillahiminassyaitannirrajim).

Menahan amarah ini tidaklah mudah, karenanya Rasulullah SAW berkata,

“Orang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah.” (Muttafaq Alaihi.)

Kedua, jika emosi, tahan diri dari mengambil keputusan yang bisa jadi akan disesali

Bila seorang dari kamu sedang marah hendaklah diam. (HR. Ahmad)

Kita tentu tidak ingin menyesali suatu keputusan yang dihasilkan dalam kondisi yang penuh emosi, karena pada saat ini, akal pikiran kita tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan dalil itu pula, ada beberapa ulama yang menyatakan tidak sah talak seorang suami dalam keadaan marah.

Tenangkan diri terlebih dahulu, jernihkan pikiran, dinginkan kepala, agar keputusan yang diambil tidak menjadi sesalan di kemudian hari.

Ketiga, koreksi diri

Jangan mudah menyalahkan pihak lain, coba koreksi diri juga, bisa jadi, konflik yang terjadi diakibatkan oleh peran serta kita di dalamnya.

Keempat, berikan nasehat yang baik

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-'Asyr: 1-3)

Surat di atas berbicara tentang hubungan interaksi dengan semua muslim, termasuk juga untuk pasangan kita.

Jika ada kelalaian/kekhilafan/kesalahan, akan lebih indah kalau teguran yang keluar berupa nasehat yang baik, dengan kata-kata yang baik, dan dengan cara-cara yang baik.

Bagaimana mungkin kita akan berkata dengan kata-kata yang tidak baik kepada pasangan kita sendiri, sedang kepada orang-orang non muslim dan para penentang Tuhan saja, Allah SWT telah memerintahkan kita agar berkata dengan cara yang baik?

Kelima, jika harus mempergunakan kekerasan

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisaa': 34)

Pada taraf konfik yang berat, dan sulit untuk diselesaikan, terkadang konflik bisa diselesaikan dengan ketegasan.

Ada tahapan-tahapan yang harus dijalankan, nasihati terlebih dahulu, setelah tidak bisa, lakukan pisah ranjang (namun masih di dalam satu rumah yang sama), jika masih tidak memungkinkan, pukullah, dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas dan tidak di wajah. Tahapan-tahapan ini tidak boleh dilakukan dengan meloncati tahapan sebelumnya.

Namun dari berbagai sirah/sejarah Nabi yang saya baca, sepertinya saya tidak pernah menemukan contoh ini. Ini berarti memang solusi seperti ini, hanya untuk hal yang sangat kasuistik.

Satu-satunya contoh hukuman dengan kekerasan yang pernah saya baca dari Nabi yaitu ketika Nabi Ayub AS harus melaksanakan sumpahnya untuk memukul istrinya 100 kali, namun itu juga dengan mempergunakan rumput, yang pastinya tidak akan seberapa sakit.

Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shaad:44)

Keenam, pihak ketiga

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisaa': 35)

Jika memang dirasa perlu, libatkan pihak ketiga yang bisa menjadi mediator, fasilitator, bisa berupa pihak keluarga, maupun dari pihak profesional seperti konselor pernikahan.

Ketujuh, jangan libatkan anak dalam pertikaian

Jangan membuat blok dalam rumah tangga, dengan mencari pendukung atau sekutu dalam pertikaian yang terjadi antar pasangan.

Seorang anak bisa jadi sudah mengalami kebingungan sendiri dengan konflik yang dialami orangtuanya, cukuplah sampai disitu saja beban yang dialaminya.

Kedelapan, ketika perceraian harus terjadi

Jika tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, dan harus diambil solusi terburuk berupa perceraian, pastikan agar dilakukan dengan cara yang baik. Pernikahan diawali dengan hal yang baik, maka sudah sepatutnya pula diakhiri dengan cara yang baik.

Beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian selama proses perceraian seperti sebagai berikut:

Talak tidak boleh dilakukan pada waktu pihak wanita berada dalam masa haid atau nifas, talak baru dikatakan sah jika pihak wanita dalam keadaan bersih.

Ada masa iddah pasca talak, masa iddah adalah waktu jeda dengan rentang waktu tiga kali bersuci dari haid, sehingga jelas tidak ada benih dari suami di dalam rahim istri. Dan selama masa iddah ini, sang istri harus tetap berada satu rumah dengan suami, dan dalam waktu iddah ini pula, kedua belah pasangan boleh rujuk tanpa memerlukan pernikahan ulang kembali.

Jika telah memiliki anak, dengan adanya perceraian, korban terbesar adalah sang anak. Jangan abaikan hak-haknya, dan bantu dia melalui krisis perceraian kedua orangtuanya.

Jaga perasaan orangtua dan mertua juga sangat mungkin mengalami masa-masa sulit dengan perceraian yang dialami anaknya. Perhatikan pula hal ini!

Kesembilan, bertaubat dan jadilah pemaaf

Tidak ada manusia yang sempurna, pasti ada kesalahan atau kelalaian yang mungkin saja terjadi.

Bagi pihak yang merasa bersalah, lakukanlah syarat-syarat taubat. Tinggalkan perbuatan dosa/kesalahan tersebut, menyesalinya, tidak mengulanginya dan berbuat kebaikan untuk menutup keburukan-kesalahan di masa lalu. Lakukan taubat nasuhah, sungguh-sungguh, karena pada dasarnya, anda tidak hanya sedang melakukan kesalahan pada pasangan anda, tapi juga telah melanggar komitmen/ikrar kepada Allah SWT.

Bagi pihak yang “dirugikan”, jadilah pemaaf, lanjutkan dan pertahankan ikatan pernikahan anda dengan langkah-langkah yang lebih baik. Tidak mudah memang untuk mengesampingkan perasaan sakit dalam hati, namun bukanlah suatu hal yang tidak mungkin untuk melanjutkan pernikahan dalam bingkai yang baru dan lebih baik.


* * *

Semoga dengan hal-hal tersebut di atas, konflik-konflik yang ada dalam rumah tangga tidak menjadi sebuah hal yang menghancurkan ikatan pernikahan, namun dapat dikelola dengan semangat yang positif.

Di luar itu semua, ingatlah agar selalu menjadi muslim yang bertakwa kepada Allah dimanapun kita berada. Takwa berarti menjauhi segala larangannNya dan melaksanakan segala perintahNya.

Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya menghapusnya dan pergauilah manusia dengan akhlak yang baik “ (HR At-Turmuzi)

Dengan bekal iman dan takwa, Insya Allah, tidak akan pernah ada konflik yang terlalu besar untuk bisa dilalui kedua belah pasangan.

Dan jadikanlah keluarga, sebagai salah satu sarana untuk mencapai keridhoanNya, untuk mencapai pintu surga, dan bersemangatlah untuk menjaga ikatan keluarga agar bisa selalu berkumpul, baik di dunia, maupun nanti di taman-taman surgaNya. Semoga, Insya Allah.

Senin, 13 Juli 2015

KELUARGA DISIPLIN TANPA DISURUH

Yang dimaksud keluarga memiliki disiplin tanpa disuruh adalah masing-masing pihak dalam keluarga melakukan kewajiban masing-masing tanpa perlu dingatkan terus menerus oleh pihak lainnya. Suami tahu kewajibannya, begitu pula isteri dan anak-anak. Hal ini mensyaratkan pengetahuan dan kesadaran yang cukup tentang apa saja hak dan kewajiban berkeluarga dalam Islam. Namun sayangnya, banyak orang yang berkeluarga tapi belum memiliki ilmu pengetahuan tentang hak dan kewajiban dalam keluarga. Mereka berkeluarga bukan karena ilmu, tapi oleh budaya dan tradisi. Bahkan sampai saat ini ilmu berkeluarga (family education) belum dianggap penting untuk diberikan kepada calon penganten. Apalagi sampai diwajibkan oleh pemerintah. Padahal semestinya setiap calon penganten harus mengikuti semacam sekolah (kursus) pendidikan keluarga (family school) yang diselenggarakan oleh pemerintah bekerjasama dengan lembaga-lembaga agama terkait.
Dampak dari ketidaktahuan tentang ilmu berkeluarga membuat banyak suami atau isteri yang tidak tahu hak dan kewajibannya. Sudah sering terdengar ada keluarga tidak harmonis karena suami tidak melakukan kewajibannya, yakni memberi nafkah kepada isteri dan anaknya. Sebaliknya isteri lalai melaksanakan kewajibannya, yakni melayani suami sebaik-baiknya dan mendidik anak-anaknya. Isteri malah sibuk bekerja dan mengembangkan karir, padahal tidak darurat untuk mencari nafkah membantu suaminya.

Kelalaian suami atau isteri tersebut kemudian berdampak kepada anak-anaknya yang tumbuh berkembang tanpa keteladanan dan pendidikan yang memadai dari bapak ibunya. Banyak orang tua sekarang yang sudah merasa memberikan pendidikan yang cukup ketika menyekolahkan anaknya di sekolah yang mahal. Mereka lupa sekolah formal tidak dapat menggantikan peran mereka sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya. Tidak bisa figur pendidik ayah ibunya diganti orang lain. Sekolah hanya membantu orang tua mendidik anak-anaknya, bukan menggantikan.

Akhirnya, banyak anak-anak sekarang yang tumbuh menjadi pribadi yang pincang (split of personality), baik secara emosional dan spritual, karena kurang pendidikan dari ayah ibunya. Berita-berita tentang kenakalan anak dan remaja sudah sering kita dengar sebagai bukti betapa rapuhnya kepribadian anak-anak kita. Lalu anak-anak dengan pribadi yang pincang itu kelak akan menikah dan melahirkan generasi baru yang juga pincang seperti ayah ibunya. Demikian seterusnya. Wajar jika generasi idaman harapan Islam dan bangsa sulit diwujudkan karena kebanyakan kita menikah tanpa ilmu, tapi hanya berdasarkan budaya dan tradisi belaka. Aneh memang, sekolah untuk bekerja bertebaran dimana-mana dan dengan sistem yang selalu diperbaharui (sekolah kejuruan dan perguruan tinggi). Namun sekolah untuk berkeluarga (family school) tidak ada. Kalau pun ada hanya sebatas seminar atau ceramah yang bersifat singkat dan tidak sistematis. Padahal bekerja dan berkeluarga sama pentingnya. Atau bahkan, menurut sebagian ulama, keluarga lebih penting daripada pekerjaan. Inilah yang terjadi jika kehidupan kita diatur oleh nilai-nilai sekuler dan materialistik. Selalu yang didahulukan yang bersifat materi dan uang daripada yang bersifat kerohaniaan dan maknawi.

Jadi, untuk membentuk keluarga harmonis sangat diperlukan pendidikan keluarga yang dijalankan oleh masing-masing pihak. Suami, isteri dan anak. Pendidikan yang bukan hanya diberikan sebelum menikah tapi juga sepanjang pernikahan. Masing-masing pihak perlu memiliki kesadaran untuk mengembangkan pengetahuannya tentang apa saja hak dan kewajiban dalam keluarga. Tidak usah disuruh-suruh dan harus dimarahi dulu oleh pihak lain baru melakukannya. Suami, isteri dan anak sudah disiplin melakukan kewajibannya karena berangkat dari kesadaran diri. Inilah yang dimaksud dengan keutamaannya adalah disiplin tanpa disuruh.

Sebab jika disiplin melakukan kewajiban harus disuruh-suruh dan diingatkan lebih dahulu maka yang muncul adalah pertengkaran, minimal perasaan tersinggung. Apalagi bagi suami yang memang diciptakan Allah swt memiliki sifat kepemimpinan dalam keluarga. Mudah bagi kita menerima nasehat dari orang yang statusnya “di atas” kita. Tapi sulit bagi kita menerima nasehat dari orang yang statusnya “di bawah” kita. Itulah sebabnya ada beberapa suami yang harga dirinya merasa tersinggung karena sering dinasehati isterinya. Apalagi jika cara menasehatinya seperti menggurui dan memarahi. Begitu pula isteri lama kelamaan juga akan sakit hati jika sering dimarahi suaminya karena tidak melakukan kewajibannya. Nah..supaya ini tidak terjadi, alangkah idealnya jika suami isteri disiplin melakukan kewajibannya tanpa disuruh-suruh. Sebab menyuruh berulang-ulang akan membuat sakit hati bagi yang menyuruh dan juga yang disuruh. Keduanya berbuat dosa satu sama lain.

Di bawah ini, saya akan ulang beberapa kewajiban suami isteri yang diambil dari buku “Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap” karangan H.A. Abdurrahman Ahmad sebagai pelengkap dari tulisan singkat ini. Semoga kita semua menjadi keluarga sakinah dengan disiplin melakukan kewajiban masing-masing tanpa disuruh-suruh.

Kewajiban Suami Kepada Istri :
-Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-aubah: 24)
-Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)
-Hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)
-Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)
-Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
-Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
-Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq: 7)
-Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
-Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)
-Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
-Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).
-Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
-Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
-Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
-Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
-Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
-Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: 240).
-Suami wajib menundukkan pandangan mereka kepada yg bukan mahrom dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30)
Kewajiban Isteri Kepada Suami :
-Hendaknya istri menyadari dan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
-Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)
-Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)

Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:
Menyerahkan dirinya,
Mentaati suami,
Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
-Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
-Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)
-Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)
-Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)
-Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)
-Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
-Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami (Thabrani)
-Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
-Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
-Isteri wajib menundukkan pandangan mereka kepada yg bukan mahrom dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 31)***

KELEMBUTAN YANG MENYENANGKAN

Idealnya, interaksi antar suami isteri dilumuri dgn kelembutan, baik dalam komunikasi, sikap dan perilaku. Suami isteri harus membiasakan diri membubuhi ucapannya dgn magic words (kata-kata ajaib yg melunakkan hati). Jika suami disediakan makanan oleh isteri ucapkanlah terima kasih. Jika isteri melihat suaminya tidak senang, segera ucapkanlah maaf. Kata magic words yg perlu sering dilakukan selain terima kasih dan maaf adalah silakan, permisi, tolong, dan semisalnya. Jangan menggunakan magic words ketika masih menjadi pengantin baru saja, tapi juga pengantin lama perlu sering mengucapkannya, baik ketika bertemu tatap muka dengan pasangan maupun melalui komunikasi jarak jauh.

Selain itu, kurangi komunikasi yg ujungnya menggunakan tanda seru (perintah). Sebaliknya, perbanyak kalimat berita atau pertanyaan untuk menghaluskan cara komunikasi suami isteri. Hal ini mungkin terasa sulit bagi suami atau isteri yg berasal dari suku tertentu yang terbiasa bersuara keras, namun jika dibiasakan insya Allah cara komunikasi kita bisa berubah lebih lembut.
Kelembutan adalah watak dari ajaran Islam. Rasulullah saw adalah orang yang paling lembut kepada orang lain, apalagi terhadap isteri-isterinya. "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..." (Qs. 3:159).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Alloh adalah Dzat Yang Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam setiap perkara" (HR Bukhori-Muslim). Beliau membuktikan langsung dalam perilaku sehari-hari tentang kelembutan tersebut. Beliau tidak pernah melotot, menaikkan nada suara dan marah kepada istri-isterinya. Beliau juga banyak menemani istrinya yang sedang mengadu atau sakit. Sungguh suami teladan adalah Nabi kita Muhammad saw!
Suatu ketika beliau pulang kemalaman dan istrinya Aisyah ra tidak mendengar suaminya mengetuk pintu. Setelah tiga kali Rasulullah saw mengetuk pintu dan memberi salam, beliau dengan ringan tidur di teras rumahnya tanpa rasa kesal berlebihan. Beliau maklum mungkin isterinya kelelahan setelah seharian mengurus rumah. Tidak ada kemarahan yang ditunjukkan oleh beliau saat itu.
Beliau juga biasa memanggil istri-istrinya dengan panggilan kesukaan dan panggilan yang indah. Seperti "Yaa Humaira" untuk memanggil Aisyah. Memanggil dengan panggilan kesayangan kepada suami atau isteri merupakan sunnah rasul yang perlu ditiru olah suami isteri di jaman sekarang. Panggillah isteri atau suami dgn panggilan yang disukainya dan hanya kita yang memanggil pasangan dengan panggilan tersebut, sehingga terasa kemesraan dan makna khususnya. Jangan dengan panggilan yang terlalu umum dan pasaran, seperti mas, say, honey, ummi, abi atau yang semisalnya, sehingga menjadi tidak spesial dan istimewa.

Kalau bisa di dalam keluarga ada kode etik untuk tidak saling teriak, mengucapkan umpatan kasar, apalagi sampai melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Memang KDRT bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia merupakan proses panjang dari seringnya suami atau isteri berkata dan berperilaku kasar kepada pasangannya. Yang kemudian dibalas dengan yang lebih kasar oleh pasangannya. Demikian terus berkulminasi sampai akhirnya terjadi KDRT.

Perlu juga dipahami bahwa kadar kekasaran yang dilakukan oleh suami atau isteri kepada pasangannya tidak sama dengan kekasaran yang diterima oleh suami atau isteri dari orang di luar rumah. Kadar sakit hatinya lebih tinggi jika dilakukan oleh suami atau isteri kepada pasangannya daripada dilakukan oleh orang lain. Sebab orang yang paling potensial menyakitkan hati kita justru adalah orang yang paling kita cintai, yaitu suami, isteri atau anak-anak. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dalam berkata-kata dan berperilaku terhadap pasangan dan anak. Luka akibat kekasaran yang dilakukan pasangan sembuhnya lebih lama daripada luka akibat kekasaran yang dilakukan oleh orang di luar rumah.

Semoga keluarga kita adalah keluarga yang interaksinya selalu dalam kelembutan dan kasih sayang.

MEMBERDAYAKAN, BUKAN MENJATUHKAN

Dalam keluarga yang sakinah, suami isteri memiliki kewajiban untuk saling memberdayakan satu sama lain. Juga memberdayakan anak-anak mereka sehingga semakin lama semakin bertaqwa, sebagaimana yg diperintahkan Allah swt : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam' (Q.s 3:102).
Keluarga sebagai sebuah entitas kebahagiaan tentu harus memberdayakan penghuninya, bukan mengkerdilkan potensi penghuninya. Pemberdayaan tsb diawali dengan suami yg memberdayakan isterinya. Isteri juga memberdayakan suaminya. Kemudian suami isteri kompak memberdayakan anak-anak mereka.

Dalam kenyataannya, ada suami atau isteri yang setelah menikah malah semakin kerdil kualitasnya. Faktor penyebabnya banyak, tapi salah satunya karena pasangan tidak membantu pemberdayaan suami atau isterinya. Ada suami misalnya semakin minder setelah menikah, tidak mau bergaul dengan tetangga. Setelah ditilik ternyata karena si suami suka dilecehkan isterinya. Atau sebaliknya, isteri menjadi kurang kecerdasannya karena tidak didukung suami untuk ikut pengajian. Padahal si isteri dahulu adalah aktivis dakwah yang cerdas.

Ada juga suami isteri yang menurun kualitasnya bukan karena tidak didukung pasangannya, tapi karena ia sendiri yang tidak mau mengembangkan diri karena terjebak dengan rutinitas mengurus keluarga dengan segala tetek bengeknya. Terjebak dengan zona nyaman berkeluarga dan lupa mengembangkan diri agar lebih berguna bagi masyarakat dan Allah swt.

Tipe-Tipe Keluarga

Pemberdayaan yang perlu dilakukan di dalam keluarga paling tidak meliputi empat unsur: spritual, intelektual, emosional dan jasmani. Ada keluarga yang lemah di bidang spritual. Misalnya, bapaknya tidak sholat atau anaknya tidak pernah baca Qur'an. Inilah keluarga kuburan karena kering spritual. Persis seperti sabda Nabi saw: "Jadikanlah rumah kalian sebagai tempat shalat kalian, jangan jadikan ia sebagai kuburan" (HR. Al Bukhari no. 432, 1187, Muslim no. 777). Nabi saw melarang menjadikan rumah seperti kuburan karena penghuninya jarang sholat atau kering secara spritual.
Ada juga rumah yang kering secara intelektual, walau mungkin spritual, emosional dan jasmaninya bagus. Inilah keluarga tipe televisi. Keluarga yang penghuninya asyik menonton televisi atau anak-anaknya asyik bermain games, sehingga otaknya tidak kritis dan hanya mengekor budaya barat. Lawannya adalah keluarga buku, yakni keluarga yang penghuninya rajin baca buku, belajar dan mengaji, sehingga mereka kritis dan cerdas mensikapi gaya hidup yang materialistik dan tidak mengekor budaya barat.

Lalu ada juga tipe keluarga yang kering emosionalnya, yakni keluarga terminal. Persis seperti terminal bis, dimana bis hanya sekedar mampir di terminal untuk istirahat sebentar saja. Keluarga tipe terminal adalah keluarga yang penghuninya menjadikan rumah sekedar tempat istirahat tanpa interaksi mendalam dari penghuninya. Anggota keluarga tidak akrab satu lain karena sibuk sendiri-sendiri. Rumah seperti tempat kos yang penghuninya asing satu sama lain. Kadar emosional anggota keluarga tipe ini juga rendah. Selain tidak akrab satu sama lain, emosional mereka juga rapuh dari penyakit hati. Suka marah, mengumpat, menjelekkan satu sama lain, kurang sabar, sering galau, dan berbagai perasaan buruk lainnya.

Yang terakhir adalah keluarga tipe rumah sakit karena penghuninya lemah dalam kualitas jasmani. Rumah yang penghuninya tidak memperhatikan kesehatan jasmani. Entah karena rumah tersebut jorok atau karena penghuninya kurang memperhatikan makanan bergizi atau olahraga, sehingga penghuninya sering sakit-sakitan secara bergantian.
Keempat tipe keluarga tersebut --keluarga kuburan, keluarga televisi, keluarga terminal dan keluarga rumah sakit-- tidaklah ideal dalam Islam. Keluarga yang Islami adalah keluarga yang seimbang dalam pemberdayaan empat hal tersebut, yakni spritual, intelektual, emosional dan jasmaninya. Inilah keluarga Nabi Muhammad saw, sehingga beliau dengan bangga menyebut keluarganya sebagai baiti jannati (rumahku surgaku). Inilah keluarga surga, keluarga bahagia, atau keluarga sakinah, dimana penghuninya berdaya dalam empat hal, yakni spritual yang baik, intelektual yang tinggi, emosional yang matang dan jasmani yang sehat.

Yang menarik, ternyata keluarga surga tidak ada hubungan secara langsung dengan kekayaan keluarga tersebut. Rasulullah saw mengucapkan keluarganya adalah keluarga surga ketika dalam kondisi rumahnya yang sederhana dan tidak luas. Rumah Rasulullah saw beserta isterinya Aisyah ra seperti yang disebutkan dalam hadits sangat sederhana. Lantainya terbuat dari tanah, tempat tidur Nabi saw saja terbuat dari semacam jerami kering. Rumah Nabi saw juga sempit. Dikisahkan jika Rasulullah saw sholat tahajud di rumah Aisyah ra sering bersentuhan dengan kaki Aisyah ra yang sedang tidur saking sempitnya rumah tersebut. Kalau kita ke makam Rasulullah saw di Masjid Nabawi, yang dulu merupakan rumah beliau bersama Aisyah ra, maka kita akan lebih mengerti betapa sempitnya rumah Nabi saw. Tidak lebih dari ukuran 8x4. Di rumah semacam itulah Nabi yang mulia dengan bangga menyebutkan rumahnya adalah surganya. Bandingkan, dengan keluarga-keluarga sok modern sekarang, bahkan yang kaya sekalipun. Beranikah penghuninya mengatakan keluarganya adalah surganya? Mungkin malah sebaliknya, diam-diam mengatakan dalam hati bahwa keluargaku adalah nerakaku. Sebab penghuninya jauh dari nilai-nilai spritual. Intelektualnya (kualitas berpikirnya) kurang Islami. Emosionalnya kering atau jasmaninya tidak sehat, sehingga sulit tercapai kebahagiaan lahir dan batin di rumah tersebut.

Oleh karena itu, keluarga surga adalah keluarga yang seimbang dalam spritual, intelektual, emosional dan jasmani. Keluarga yang seimbang tersebut disebut juga dengan keluarga qurrota a'yun seperti yang disebut al Qur'an dalam surah al Furqon ayat 74: " Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa".
Ayat 74 surah al Furqon ini bukan saja sebagai doa yang harus sering dibaca setiap keluarga muslim atau mereka yang hendak mencari jodoh agar mendapatkan jodoh yang baik, namun ayat ini juga mengandung visi dan misi keluarga Islam.

Menurut ayat 74 surah al Furqon, visi keluarga Islam adalah menjadikan seluruh anggota keluarga sebagai qurrota a'yun (yang menyenangkan mata batin dan lahiriah). Dengan kata lain, menjadi keluarga bahagia yang seimbang spritual, intelektual, emosional dan jasmaninya. Sedang misi keluarga Islam termaktub dalam kalimat terakhir dari ayat tersebut, yakni "jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa". Artinya, misi keluarga Islam adalah memberdayakan seluruh anggota keluarga agar menjadi iman (pemimpin). Bahkan bukan sembarang pemimpin, tapi pemimpin dari kumpulan orang-orang yang bertaqwa. Bayangkan...ada kumpulan orang bertaqwa dan yang memimpin adalah keluarga kita! Bukankah ini merupakan perintah Allah yang jelas agar kita memberdayakan keluarga kita secara luar biasa? Bukan main-main, tapi serius memberdayakan keluarga menuju puncak ketaqwaannya?

Ironisnya, justru saat ini kita menyaksikan orang kafir, Yahudi dan Nasrani, yang serius memberdayakan keluarganya. Orang Yahudi sudah diajarkan sejak kecil bahwa mereka adalah bangsa tertindas dan harus bangkit jika tidak mau punah dari muka bumi. Itulah sebabnya orang Yahudi, walau jumlahnya tidak lebih dari 6 juta orang di seluruh dunia, bisa menguasai dunia dan dunia Islam karena kualitasnya yang hebat. Orang Nasrani juga diajarkan agar percaya diri dan tangguh di sekolah-sekolah mereka, sehingga walau jumlahnya minoritas di Indonesia tapi mereka mampu berperan secara signifikan dalam dunia politik dan ekonomi Indonesia.
Semoga dengan uraian di atas membuat kita semakin termotivasi untuk memberdayakan keluarga kita, sehingga menjadi keluarga hebat bukannya malah saling menjatuhkan potensi masing-masing anggota keluarga kita.

Ya Allah...jadikanlah keluarga-keluarga kami menjadi keluarga yang menjadi imam bagi orang-orang bertaqwa. Waj'alna lil muttaqina imama.**

Ambisinya Masuk Surga Bersama-Sama

 Kita sudah mafhum bahwa menikah dan berkeluarga bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan dalam jangka panjang, dunia dan akhirat. Kita berharap bisa terus berkumpul dengan isteri dan suami serta anak-anak kita di dunia dan akhirat. Bahkan kalau bisa dengan semua nenek moyang dan keturunan kita. Semua itu niscaya jika kita berambisi kuat untuk masuk surga bersama-sama.
Dalam al Qur'an, Allah menyatakan bahwa kita akan berkumpul dengan keluarga besar kita kelak di surga.
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
"Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu." (QS. Al-Ra'du: 22-23)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan "Yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya," maksudnya: Allah mengumpulkan mereka bersama orang-orang yang mereka cintai di dalamnya (surga 'Adn); yaitu bapak-bapak, istri-istri, dan anak-anak mereka dari kalangan orang-orang beriman yang berhak masuk surga. Supaya hati mereka bahagia karena dapat berkumpul dengan mereka. Sehingga diangkatlah derajat mereka yang lebih rendah kepada derajat yang lebih tinggi sebagai pemberian dan kebaikan dari Allah, tanpa dikurangi derajat orang yang lebih tinggi. Sebagaimana firman Allah,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شِيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. Al-Thuur: 21)
Ibnu Abbas berkata dalam menafsirkan ayat ini, "Sesungguhnya Allah akan mengangkat (meninggikan derajat) anak-anak seorang mukmin pada tingkatannya walau amal mereka ada di bawahnya supaya gembira hatinya." Kemudian beliau membaca,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شِيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. Al-Thuur: 21)
Kesimpulan ini dikuatkan ayat lain dari doa malaikat untuk hamba-hamba beriman, agar kaum mukminin dimasukkan ke dalam surga bersama orang-orang shalih dari bapak-bapak mereka, pasangan-pasangan mereka, dan keturunan-keturunan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ghaafir: 8).

Perlu di catat, bahwa yang membuat mereka berkumpul di surga bukan semata karena nasabnya. Tapi karena adanya iman dan amal shaleh yang menjadikan mereka masuk surga. Karena di sana disebutkan, "dan orang-orang yang saleh . ." yakni yang benar iman dan amal sholehnya. (Lihat: Tafsir al-Sa'di: 732).

Dengan berkumpulnya kita dengan keluarga yang beriman dan beramal saleh, maka lengkaplah sudah kebahagiaan kita di surga. Namun sebaliknya, jika ada satu saja anggota keluarga kita yg masuk neraka maka berkuranglah kebahagiaan kita. Ada rasa sedih yang menggantung. Mungkin juga penyesalan karena belum mengajak secara maksimal.

Masuk surga bersama-sama seharusnya menjadi ambisi (tekad) yang kuat dari masing-masing anggota keluarga, terutama kedua orang tua. Dan lebih terutama adalah ayah atau suami sebagai pemimpin keluarga. Bahkan untuk ayah dan suami inilah Allah berfirman agar sungguh-sungguh menjaga anggota keluarganya tdk masuk ke dalam neraka. "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Qs. 66:6). Di ayat ini Allah bahkan mengilustarikan dengan sangat jelas bahwa neraka sangat mengerikan karena bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Bayangkan...Manusia menjadi bahan bakarnya sekaligus yang dibakar! Sungguh merupakan gambaran tentang siksaan neraka yg sangat pedih, sehingga diharapkan sebuah keluarga betul-betul takut masuk neraka. Lalu patuh kepada Allah demi kebahagiaan keluarga itu sendiri. Juga digambarkan dalam ayat tersebut bahwa penjaga neraka adalah malaikat yang kasar dan keras, sehingga ketika menghayati ayat ini diharapkan orang tua, terutama sang ayah akan berambisi sekuat tenaga menyelamatkan diri, isteri dan anak-anaknya dari api neraka. Subhanallah....Saya menuliskan kalimat ini dengan perasaan merinding ketakutan.

Ya Allah...hindarilah kami dan keluarga kami dari api neraka jahanam..aamiin ya robbal alamiin.**

Kamis, 11 Juni 2015

Konsultasi : Tanggung Jawab Lelaki yang Menzinahi



Assalamu'alaikum Wr Wb
Pa ustaz.... teman saya seorang janda beranak 2  yang sudah bercerai dengan suaminya dan pernah berpacaran dengan laki-laki duda beranak 2, sampai terlanjur dalam, namun saat suami teman saya resmi secara kenegaraan menceraikannya. laki-laki yang dipacarinya itu malah menikah dengan wanita lain, Teman saya menuntut laki-laki itu untuk menikahinya sebagai rasa tanggung jawabnya, tetapi laki-laki itu menolaknya  dan mengatakan kalau  dirinya sudah bertaubat dengan menikahi wanita pilihannya. Dan tidak dapat mencintai teman saya itu lagi. Pertanyaanya :
1. Apakah teman saya salah meminta tanggung jawab kepada laki-laki tersebut ?
2. Benarkah taubat yang dilakukan laki-;laki tersebut ?
3. Bagaimana masa depan teman saya itu dengan 2 anaknya, ?
4. Bagaimana caranya agar laki-laki tersebut mau menikahi teman saya dan bertanggung jawab?
 Terima kasih pa ustaz....
Wassalamu'alaikum Wr Wb

Wa’alaikum salam wr. wb.
Saudaraku Suparti yang dirahmati Allah SWT, saya turut prihatin dengan peristiwa yang dialami teman Anda. Sekali lagi kasus teman Anda menunjukkan kepada kita semua bahwa ajaran Islam yang melarang kita berzina adalah benar demi kemaslahatan manusia. 

Menurut saya, agak sulit bagi teman Anda untuk meminta pertanggungjawaban lelaki yang telah menzinahinya karena zina sendiri hakekatnya merupakan perbuatan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ketika teman Anda bersedia untuk berzina, maka seharusnya ia sudah tahu konsekuensinya bahwa di kemudian hari bisa saja si lelaki mengingkari janji-janjinya. Apalagi jika tidak ada bukti tertulis di atas materai bahwa si lelaki akan menikahinya, maka menuntut pertanggung jawaban si lelaki menjadi lemah di mata hukum. Perbuatan zina atas dasar suka sama suka setahu saya tidak bisa dijadikan delik aduan dalam aturan hukum positif di Indonesia. Kecuali jika ada bukti dan saksi bahwa teman Anda dipaksa/diperkosa oleh si lelaki tersebut.

Mengenai tobat si lelaki tersebut apakah benar atau tidak, yang tahu hanyalah dirinya dan Allah SWT saja. Bisa saja dalih bertobat adalah alibi si lelaki untuk menghindar dari tuntutan teman Anda. Namun yang jelas, benar atau tidaknya tobat si lelaki tersebut agak sulit bagi teman Anda untuk meminta pertanggung jawaban secara hukum jika perzinahan dilakukan suka sama suka. 

Yang dapat dilakukan teman Anda adalah menuntut pertanggung jawaban secara moral. Jika si lelaki tersebut menolak seperti yang dilakukannya saat ini dengan berdalih sudah tobat dan tidak mencintai teman Anda lagi, maka teman Anda bisa melakukan langkah selanjutnya yakni meminta tolong teman, orang tua atau orang-orang yang disegani si lelaki tersebut untuk menyadarkan si lelaki tersebut. Ceritakan kejadian yang sesungguhnya kepada orang-orang yang bisa membantu teman Anda. Tidak usah malu untuk menceritakan kepada mereka yang bisa membantu. Sekaligus hal ini mungkin bisa menjadi sangsi sosial bagi si lelaki, sehingga ia malu dan sadar akan perbuatannya.

Namun jika si lelaki tersebut tetap bersikeras tidak mau menikahi teman Anda, maka relakan saja kepergiannya. Ambil hikmah dari kejadian tersebut, diantaranya : jangan mudah percaya dengan janji-janji lelaki jika ujung-ujungnya meminta berzina. Hikmah kedua yang dapat dipetik adalah jika teman Anda memaksa si lelaki itu untuk menikahinya padahal ia tidak lagi mencintai teman Anda, maka bisa jadi pernikahan yang terjadi adalah pernikahan kamuflase karena tidak didasari oleh ketulusan cinta. Suasana rumah tangga akan rentan dengan konflik dan perselisihan. Hal ini tentu tidak baik bagi pernikahan teman Anda. 

Demikian jawaban saya, semoga berkenan. 

Salam Berkah!

(Satria Hadi Lubis)
Mentor Kehidupan