Senin, 04 April 2016

MENJADI PRIBADI YANG BERINTEGRITAS


 
Oleh : Satria Hadi Lubis
(Widyaiswara Madya STAN)

Pendahuluan
            Sebagai sebuah institusi yang memegang peranan vital dalam mengelola keuangan negara dan menentukan jatuh bangunnya Republik Indonesia, Kementerian Keuangan membutuhkan jajaran sumber daya aparatur yang berkualitas dan kompeten. Berbagai upaya strategis terus menerus dilakukan untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan kompetensi, baik hard skills yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan fungsi unit di Kementerian Keuangan, maupun soft skills yang dipersyaratkan dalam JPM (Job Person Match). Sementara itu, salah satu dari 35 soft skills sebagaimana disebutkan di dalam Peraturan Sekretaris Jenderal  Kementerian Keuangan (Persekjen) No 55/SJ/2008, yaituintegritas menjadi salah satu karakter khusus di Kementerian Keuangan yang harus dimiliki dan menyatu dalam ucapan, pikiran, dan perbuatan setiap pegawainya.
            Integritas juga menjadi salah satu nilai-nilai Kementerian Keuangan yang idealnya harus terwujud dalam diri setiap pegawai Kementerian Keuangan. Integritas menurut nilai-nilai Kementerian Keuangan diartikan sebagai berpikir, berkata, berperilaku dengan baik dan benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. 
Teori tentang Integritas
            Integritas berasal dari bahasa latin “integrate” yang artinya komplit atau tanpa cacat, sempurna, tanpa kedok. Maksudnya adalah apa yang ada di hati sama dengan apa yang kita pikirkan, ucapkan, dan lakukan (Bertens, 1994).
Integritas (integrity) adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya. Secara sederhana, integritas menunjukkan keteguhan sikap, menyatunya perbuatan dan nilai-nilai moral yang dianut oleh seseorang. Orang yang memiliki integritas tidak akan tergoyahkan oleh godaan untuk mengkhianati nilai-nilai moral yang diyakini.
            Pribadi berintegritas adalah pribadi yang mempertahankan tingkat kejujuran dan etika yang tinggi dalam perkataan dan tindakannya sehari-hari. Mereka adalah orang-orang yang kompeten, teliti dan handal dalam berperilaku, dapat dipercaya oleh rekan kerjanya, bawahan dan atasannya serta pihak luar. Mereka juga memperlakukan orang lain dengan adil.
Beberapa pendapat tentang integritas dan pribadi yang berintegritas adalah sebagai berikut :
1.        Henry Could
          Orang-orang yang menjadi pemimpin atau yang benar-benar sukses cenderung memiliki tiga kualitas. Kualitas dimaksud menurut Henry Cloud (2006), yaitu memiliki perangkat kemampuan tertentu, membangun hubungan saling menguntungkan (lebih dari sekedar networking), dan berkarakter. Setidaknya, karakter yang dimaksud di sini adalah mencakup etika dan integritas. Kesuksesan seorang pemimpin tidak hanya dilihat dari seberapa besar kemampuannya dalam bidang tertentu, tetapi yang lebih penting adalah seberapa besar integritas dirinya dalam mengelola dan menggunakan kemampuannya tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang diyakininya.
2.        Dr. Phill Pringle
          Beberapa penjelasan mengenai integritas menurut Dr. Phill Pringle (2001) dalam bukunya Top 10 Qualities of A Great Leader adalah sebagai berikut :
1.        Integritas berasal dari sikap tidak mementingkan diri sendiri.
2.        Integritas dibangun di atas dasar disiplin.
3.        Integritas adalah kekuatan moral yang terbukti tetap benar di tengah api godaan.
4.        Integritas adalah kemampuan untuk bersabar ketika hidup ini tidak berjalan mulus.
5.        Integritas adalahtahan uji yang memerlukan perilaku yang dapat diduga.
6.        Integritas adalah kekuatan yang tetap teguh sekalipun tidak ada yang melihat.
7.        Integritas adalah menepati janji-janji, bahkan ketika merugikan Anda.
8.        Integritas, tetap setia kepada komitmen, bahkan ketika itu tidak nyaman.
9.        Integritas, tetap teguh pada nilai-nilai tertentu meskipun dirasakan lebih populer untuk mencampakkannya.
10.    Integritas, hidup dengan keyakinan, ketimbang dengan apa yang disukai.
11.    Integritas adalah pondasi dari kehidupan, jika integritas baik, maka kehidupan baik, begitupun sebaliknya.
12.    Integritas dibentuk melalui kebiasaan.

3.        Stephen R. Covey
          Pendapat yang disampaikan oleh Stephen R. Covey (1997) yang dekat dengan integritas adalah “begin with the end mind”, yaitu selalu bertanya, “Apa yang Anda inginkan agar orang lain tetap mengingat Anda setelah Anda meninggal dunia?”. Tentu saja kita ingin nama baik menjadi hal yang tersisa di dunia ini setelah kita meninggal dan hal ini akan membuat kita menjadi orang yang berintegritas.
4.        Billy Boen
          Menurut Billy Boen (2009), image, reputasi atau nama baik adalah hal penting yang menjadi target seseorang yang ingin sukses dalam pekerjaan. Salah satu cara untuk menjaga nama baik adalah memperhatikan diri sendiri yang sesungguhnya. Tidak bermuka dua, artinya mengatakan satu hal kepada seseorang, lalu mengatakan hal yang bertolak belakang dengan apa yang dikatakan itu kepada orang lain. Cara ini adalah dengan mengucapkan dan melakukan apa yang diyakini benar. Jangan katakan dan bertindak apa yang sudah diyakini salah. Cara seperti ini merupakan ciri orang yang berintegritas. Integritas tidak dapat dipisahkan dengan jujur. Jadi, jika kita melakukan pekerjaan secara tidak jujur, artinya kita tidak memiliki integritas. Tidak bergosip adalah salah satu cara mudah untuk menjaga integritas. Jika kita membicarkan seseorang di belakangnya, kemungkinan besar kita juga akan membicarakan orang yang kita ajak bicara tadi di belakangnya.
          Billy Boen (2009) juga mengatakan, jika seseorang sudah tahu apa keinginannya, semua perilaku dan tindakannya akan mengupayakan agar keinginan itu terwujud. Pada umumnya, tindakan untuk mencapai keinginan tersebut memerlukan integritas. Dengan integritas, seseorang akan melakukan segala sesuatunya secara positif dan konsisten.
5.        Zig Ziglar
          Seorang motivator dunia, Zig Ziglar (2007) berkata, “Seberapa jauh prestasi yang Anda capai dalam kehidupan Anda, bukan yang ditentukan dari apa yang terjadi pada diri Anda, melainkan dari apa yang Anda perbuat selama hal itu terjadi pada diri Anda.” Maksudnya, hasil akhir bukanlah satu-satunya yang dinilai, tetapi bagaimana kita bersikap dan bertindak selama proses untuk menuju kepada hasil. Dengan adanya integritas diri, sikap dan tindakan tersebut akan sesuai dengan sistem norma. Integritas diri akan membentuk komitmen, yang nantinya prestasi yang kita raih akan dihargai oleh orang lain.
6.        Wuryanano
            Integritas merupakan salah satu prinsip dari 21 prinsip dalam buku The 21 Principles to Build and Develop Fighting Spirit  karangan Wuryanano (2011). Menurutnya, orang yang mempunyai integritas adalah orang yang menerapkan sistem norma untuk menilai kehidupan, sehingga kehidupannya seperti “buku yang terbuka”. Ia tidak punya apapun untuk disembunyikan maupun untuk ditakuti. Integritas diri punya pengaruh yang tinggi pada kehidupan setiap orang. Integritas diri akan membentuk reputasi atau prestasi diri yang kuat pada diri masing-masing. Orang yang terarah kehidupannya akan lebih jauh dan lebih cepat prestasinya di dalam seluruh bidang kehidupan dibandingkan dengan yang tidak terarah. Integritas diri bukanlah sebatas apa yang kita lakukan, tetapi lebih banyak menunjukan siapa diri kita sesungguhnya.
            Jadi dapat dikatakan bahwa integritas adalah suatu sikap dan perilaku konsisten untuk menjunjung tinggi etika kerja dan etika profesi. Integritas mensyaratkan adanya godaan atau peluang untuk melakukan perbuatan tercela. Namun orang yang berintegritas tidak melakukan perbuatan tercela tersebut karena ia memiliki keyakinan akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur di lingkungannya.
Bagaimana Membangun Pribadi Berintegritas
            Untuk membangun pribadi berintegritas sebenarnya tidak susah karena sekurang-kurangnya cukup dengan melakukan tiga langkah penting. Pertama, Anda harus membangun konsep diri positif, yaitu memiliki pandangan dan perasaan yang positif mengenai diri sendiri yang akan membuat seseorang menjadi manusia yang optimis dalam menyelesaikan masalah. Kemudian merasa setara dengan orang lain, menganggap pujian sebagai kewajaran, menyadari bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang dan memiliki kemampuan untuk mengubah diri. Disamping itu, kunci untuk hidup dalam integritas diantaranya adalah memiliki karakter jujur, hati yang tulus, tidak munafik, tidak menyimpan kesalahan atau konflik, pandai menjaga lidah, berani mengakui kesalahan dan bertanggung jawab terhadap komitmen yang telah kita buat kapan dan dimanapun kita berada.
          Kedua, Anda harus melihat integritas sebagai “ integritas seluruh bagian”. Menurut Henry Cloud (2006), ada enam aspek integritas, yaitu :
1.              Kemampuan terhubung secara autentik (yang mengarah pada rasa percaya).
2.              Kemampuan berorientasi pada kebenaran (yang mengarah pada penemuan kenyataan dan bekerja sesuai kenyataan).
3.              Kemampuan bekerja dengan cara yang menghasilkan dan selesai dengan baik (yang mengarah pada pencapaian sasaran, laba, atau misi)
4.              Kemampuan terlibat dalam menghadapi hal negatif (yang mengarah pada penyelesaian atau perubahan masalah).
5.              Kemampuan untuk berorientasi pada pertumbuhan (yang mengarah ada peningkatan).
6.              Kemampuan untuk menjadi transenden (yang mengarah pada perluasan gambaran yang lebih besar dari diri sendiri).
          Ketiga, Anda harus mengenali konsep dari integritas tersebut. Menurut Henry Cloud (2006), ada empat konsep integritas, yakni :
1.        Sebagai keterampilan
       Integritas merupakan sebuah keterampilan yang harus dilatih terus-menerus. Ia bukan sesuatu yang ada dalam kepribadian seseorang . Integritas diajarkan dan dipelajari sepanjang hidup.
2.        Sebagai pedoman
       Integritas merupakan “benchmark”, rujukan atau tujuan yang digunakan dalam membuat keputusan yang berdasarkan pada kebenaran dan kejujuran.
3.        Sebagai bangunan yang kokoh
       Integritas harus dibangun dan dilestarikan sepanjang hidup. Integritas merupakan suatu bangunan di dalam hati seseorang, dimulai ketika orang itu masih muda. Integritas harus dipelihara terus menerus, jika tidak maka bangunan yang sudah dibuat selama hidup dapat runtuh dalam waktu singkat.
4.        Sebagai benih
       Integritas ibarat sebuah benih yang ditanam sejak kecil, disirami dan akan berbunga di saat dewasa. Semakin rajin dirawat, akan lebih cepat tumbuh dan berbunga. Jika tanaman kita mati, harus segera menanam yang baru dan disirami tiap hari. Perlu diingatkan bahwa tanaman tidak bisa langsung berbunga, perlu waktu untuk kembali seperti semula.
Kesimpulan
       Integritas adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi dan etika kerja, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya. Integritas sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang. Orang yang memiliki integritas tinggi mampu menghadapi setiap godaan yang akan merusak integritasnya. Dia akan hidup dengan keyakinan yang kuat dan berpegang teguh pada nilai-nilai yang diyakininya. Integritas yang tinggi akan melahirkan orang-orang yang disiplin dan peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Pribadi yang berintegritas akan tetap pada komitmennya dan tahan terhadap ujian yang akan menggoncangkan komitmen tersebut.
       Mengingat pentingnya integritas, maka setiap pegawai Kementerian Keuangan harus berusaha untuk menjadi pribadi yang berintegritas. Selama ada Republik Indonesia, maka Kementerian Keuangan harus terus berdiri sebagai sebuah institusi yang mempunyai cita-cita, integritas, kompetensi, dedikasi dan loyalitas yang tinggi. Keempat karakter dasar tersebut di atas bisa menjadi ciri dari Kementrian Keuangan, sekaligus perekat dari organisasi.

Daftar Bacaan :
Lubis, Satria H. 2011. Bahan Ajar KSPK II. STAN, Tangsel.
Cloud, Henry. 2006. Integritas : Keberanian Memenuhi Tuntutan Kenyataan. Gramedia, Jakarta.
Pringle, Phill. 2001. Top 10 Qualities of A GreatLeader. Pearson Horizon Editions, Canada.
Covey, Stephen R. 1997. Seven Habits of Highly Effective People. Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Boen, Billy. 2009. Young On Top : 30 Rahasia Sukses di Usia Muda. Gagas Media, Jakarta.
Wuryanano. 2011. The 21 Principles to Build and Develop Fighting Spirit. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Ziglar, Zig. 2007. Gods Way is Still The Best Way. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Bertens, K. 1994. Etika, Gramedia, Jakarta. 
................. Kompilasi PidatoMenteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Sekretariat Jendral, Kementrian Keuangan. 2010.
Basalamah, Anies S. Artikel : “Mengenali Motivasi untuk Meningkatkan Kinerja “. 2010.

Aspek-Aspek Etos Kerja dan Faktor yang Mempengaruhinya


 
Oleh : Satria Hadi Lubis
(Widyaiswara Madya STAN)


Isu tentang pentingnya meningkatkan etos (etika) kerja pada organisasi pemerintah dan swasta semakin mencuat akhir-akhir ini. Hal itu disebabkan semakin disadarinya pentingnya pemahaman etos kerja sebagai solusi untuk memecahkan masalah, terutama yang terkait dengan moral hazard di tempat kerja.
Artikel ini mencoba untuk menjawab apa yang dimaksud tentang etos kerja, aspek dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terwujudnya etos kerja di sebuah organisasi.

Pengertian Etos Kerja

Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti “tempat hidup”. Mula-mula tempat hidup dimaknai sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama muncul pula istilah ethikos yang berarti “teori kehidupan”, yang kemudian menjadi “etika”.
Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi beberapa pengertian antara lain starting point, to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat menterjemahkannya sebagai “sifat dasar”, “pemunculan” atau “disposisi (watak)”.
Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai guiding beliefs of a person, group or institution. Etos adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.
Sedangkan dalam The American Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan dalam dua pemaknaan, yaitu:
1.      The disposition, character, or attitude peculiar to a specific people, culture or a group that distinguishes it from other peoples or group, fundamental values or spirit, mores. Disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang mendasari, adat-istiadat.
2.      The governing or central principles in a movement, work of art, mode of expression, or the like. Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan, pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya.
Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara mendasar mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang sama.
Menurut Anoraga (2009), etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
Menurut Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas. Itulah yang akan menjadi budaya kerja.
Sinamo (2005) juga memandang bahwa etos kerja merupakan fondasi dari sukses yang sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja. Sinamo lebih memilih menggunakan istilah etos karena menemukan bahwa kata etos mengandung pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau komunitas, tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, dan standar-standar.
Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis maupun praktis dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang positif bagi peningkatan kualitas kehidupan, sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.

Aspek-Aspek Etos (Etika) Kerja

Menurut Sinamo (2005), setiap manusia memiliki spirit (roh) keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk meraih dan menikmati keberhasilan. Roh inilah yang menjelma menjadi perilaku yang khas seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional, bertanggung jawab dan sebagainya. Lalu perilaku yang khas ini berproses menjadi kerja yang positif, kreatif dan produktif.
Dari ratusan teori sukses yang beredar di masyarakat sekarang ini, Sinamo (2005)  menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem keberhasilan yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua tingkatan. Keempat elemen itu lalu dikonstruksikan dalam sebuah konsep besar yang disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sansekerta) yang berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu:
1. Mencetak prestasi dengan motivasi superior.
2. Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner.
3. Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
4. Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Keempat darma ini kemudian dirumuskan menjadi delapan aspek etos kerja sebagai berikut:
1.   Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.
2.   Kerja adalah amanah. Kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
3.   Kerja adalah panggilan. Kerja merupakan suatu darma yang sesuai dengan panggilan jiwa sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas. Jadi, jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!”. Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
4.   Kerja adalah aktualisasi. Pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi, sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk termenung tanpa pekerjaan.
5.   Kerja adalah ibadah. Bekerja merupakan bentuk bakti dan ketakwaan kepada Tuhan, sehingga melalui pekerjaan manusia mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata.
6.   Kerja adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan perasaan senang seperti halnya melakukan hobi. Sinamo mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
7.   Kerja adalah kehormatan. Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Sinamo mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
8.   Kerja adalah pelayanan. Manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani, sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati. Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.
Anoraga (2009) juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap yang seharusnya mendasari seseorang dalam memberi nilai pada kerja, yang disimpulkan sebagai berikut:
1.   Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia.
2.   Bekerja adalah suatu berkat Tuhan.
3.   Bekerja merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral.
4.   Bekerja merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbakti.
5.   Bekerja merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih
Dalam tulisannya, Kusnan (2004) menyimpulkan pemahaman bahwa etos kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua alternatif, positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:
1.   Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia,
2.   Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia,
3.   Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia,
4.   Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,
5.   Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan, 2004), yaitu :
1.   Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,
2.   Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,
3.   Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan,
4.   Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
5.   Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Dari berbagai aspek yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki etos kerja tinggi akan terus berusaha untuk memperbaiki dirinya, sehingga nilai pekerjaannya bukan hanya bersifat produktif materialistik tapi juga melibatkan kepuasaan spiritualitas dan emosional.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Etos Kerja

Etos (etika) kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.      Agama
Dasar pengkajian kembali makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber.Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan atau modernisasi.
Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar kesenangan --namun hemat dan bersahaja (asketik), dan suka menabung serta berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern.
Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), berbagai studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dengan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005).
2.      Budaya
Luthans (2006) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.
3.      Sosial politik
Menurut Siagian (1995), tinggi atau rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
4.      Kondisi lingkungan (geografis)
Siagian(1995)  juga menemukan adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
5.      Pendidikan
Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Bertens, 1994).
6.      Motivasi intrinsik individu
Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi juga etos kerja seseorang.
Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam (terinternalisasi) dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor pendorong manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada, yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah timbulnya motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. Faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang termasuk diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi, tentunya organisasi tersebut perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi ekstrinsik.
Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia. Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi pencapaian sukses (achievement), pengakuan (recognition), kemungkinan untuk meningkat dalam karier (advancement), tanggungjawab (responsibility), kemungkinan berkembang (growth possibilities), dan pekerjaan itu sendiri (the work itself). Hal-hal ini sangat diperlukan dalam meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pegawai hingga mencapai performa yang tertinggi.
Dengan memahami apa itu etos kerja, serta aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menerapkan etos kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan sebuah organisasi (termasuk organisasi Kementerian Keuangan) akan meningkat produktifitas dan profesionalitas kerjanya.
Indonesia sangat membutuhkan peningkatan etos kerja di semua lini organisasi pemerintahan dan swasta, sehingga di masa depan dapat terwujud bangsa Indonesia yang maju dan disegani masyarakat internasional.

****






Daftar Bacaan :

Lubis, Satria Hadi. 2011. Bahan Ajar Etika Profesi PNS. STAN, Tangsel.

Bertens, K. 1994. Etika.Gramedia, Jakarta.

Sinamo, Jansen. 2005. Delapan Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses. Grafika Mardi Yuana, Bogor.

Anoraga, Pandji. 2009. Manajemen Bisnis. Rineka Cipta, Jakarta.

Kusnan, Ahmad. 2004. Analisis Sikap, Iklim Organisasi, Etos Kerja dan Disiplin Kerja dalam menentukan Efektifitas Kinerja Organisasi di Garnisun Tetap III Surabaya. Tesis. Universitas Airlangga, Surabaya.

Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi. Andi, Yogyakarta.

Siagian, Prof. Dr. Sondang P.1995. Teori Motivasi Dan Aplikasinya. Rineka Cipta, Jakarta.