Oleh : Satria Hadi Lubis
(Widyaiswara Madya STAN)
Isu tentang pentingnya meningkatkan
etos (etika) kerja pada organisasi pemerintah dan swasta semakin mencuat
akhir-akhir ini. Hal itu disebabkan semakin disadarinya pentingnya pemahaman
etos kerja sebagai solusi untuk memecahkan masalah, terutama yang terkait
dengan moral hazard di tempat kerja.
Artikel ini mencoba untuk
menjawab apa yang dimaksud tentang etos kerja, aspek dan faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi terwujudnya etos kerja di sebuah organisasi.
Pengertian Etos Kerja
Menurut K. Bertens (1994), secara etimologis istilah etos berasal
dari bahasa Yunani yang berarti “tempat hidup”. Mula-mula tempat hidup dimaknai
sebagai adat istiadat atau kebiasaan. Sejalan dengan waktu, kata etos
berevolusi dan berubah makna menjadi semakin kompleks. Dari kata yang sama
muncul pula istilah ethikos yang berarti “teori kehidupan”, yang kemudian menjadi
“etika”.
Dalam bahasa Inggris, etos dapat diterjemahkan menjadi
beberapa pengertian antara lain starting
point, to appear, disposition hingga disimpulkan sebagai character. Dalam bahasa Indonesia kita dapat
menterjemahkannya sebagai “sifat dasar”, “pemunculan” atau “disposisi (watak)”.
Webster Dictionary mendefinisikan etos sebagai guiding beliefs of a person, group or institution. Etos
adalah keyakinan yang menuntun seseorang, kelompok atau suatu institusi.
Sedangkan dalam The
American Heritage Dictionary of English Language, etos diartikan dalam dua
pemaknaan, yaitu:
1.
The disposition, character, or attitude peculiar to a
specific people, culture or a group that distinguishes it from other peoples or
group, fundamental values or spirit, mores. Disposisi, karakter, atau sikap khusus orang, budaya atau
kelompok yang membedakannya dari orang atau kelompok lain, nilai atau jiwa yang
mendasari, adat-istiadat.
2. The governing or central principles in a
movement, work of art, mode of expression, or the like. Prinsip utama atau pengendali dalam suatu pergerakan,
pekerjaan seni, bentuk ekspresi, atau sejenisnya.
Dari sini dapat kita peroleh pengertian bahwa etos
merupakan seperangkat pemahaman dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang secara
mendasar mempengaruhi kehidupan, menjadi prinsip-prinsip pergerakan, dan cara
berekspresi yang khas pada sekelompok orang dengan budaya serta keyakinan yang
sama.
Menurut Anoraga (2009), etos kerja merupakan suatu
pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap kerja. Bila
individu-individu dalam komunitas memandang kerja sebagai suatu hal yang luhur
bagi eksistensi manusia, maka etos kerjanya akan cenderung tinggi. Sebaliknya
sikap dan pandangan terhadap kerja sebagai sesuatu yang bernilai rendah bagi
kehidupan, maka etos kerja dengan sendirinya akan rendah.
Menurut Sinamo (2005), etos kerja adalah seperangkat perilaku positif yang berakar pada
keyakinan fundamental yang disertai komitmen total pada paradigma kerja yang
integral. Menurutnya, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas
menganut paradigma kerja, mempercayai, dan berkomitmen pada paradigma kerja
tersebut, semua itu akan melahirkan sikap dan perilaku kerja mereka yang khas.
Itulah yang akan menjadi budaya kerja.
Sinamo (2005) juga memandang bahwa etos kerja merupakan fondasi dari sukses yang
sejati dan otentik. Pandangan ini dipengaruhi oleh kajiannya terhadap
studi-studi sosiologi sejak zaman Max Weber di awal abad ke-20 dan
penulisan-penulisan manajemen dua puluh tahun belakangan ini yang semuanya
bermuara pada satu kesimpulan utama bahwa keberhasilan di berbagai wilayah
kehidupan ditentukan oleh perilaku manusia, terutama perilaku kerja. Sebagian
orang menyebut perilaku kerja ini sebagai motivasi, kebiasaan (habit) dan budaya kerja. Sinamo lebih
memilih menggunakan istilah etos karena menemukan bahwa kata etos mengandung
pengertian tidak saja sebagai perilaku khas dari sebuah organisasi atau
komunitas, tetapi juga mencakup motivasi yang menggerakkan mereka,
karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode
perilaku, sikap-sikap, aspirasi-aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip,
dan standar-standar.
Melalui berbagai pengertian diatas baik secara etimologis
maupun praktis dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar
yang dipegang sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang
positif bagi peningkatan kualitas kehidupan,
sehingga mempengaruhi perilaku kerjanya.
Aspek-Aspek Etos (Etika) Kerja
Menurut Sinamo (2005), setiap manusia
memiliki spirit (roh) keberhasilan, yaitu motivasi murni untuk
meraih dan menikmati keberhasilan. Roh inilah yang menjelma menjadi perilaku
yang khas seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional,
bertanggung jawab dan sebagainya. Lalu perilaku yang khas ini berproses menjadi kerja yang
positif, kreatif dan produktif.
Dari ratusan teori sukses yang beredar di masyarakat
sekarang ini, Sinamo (2005)
menyederhanakannya menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah
yang sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem
keberhasilan yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua
tingkatan. Keempat elemen itu lalu dikonstruksikan dalam sebuah konsep besar
yang disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sansekerta) yang berarti
Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu:
1. Mencetak prestasi dengan motivasi superior.
2. Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner.
3. Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
4. Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Keempat darma ini kemudian dirumuskan menjadi delapan aspek
etos kerja sebagai berikut:
1. Kerja adalah rahmat. Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, sampai buruh kasar
sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat,
seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun.
2. Kerja adalah amanah. Kerja merupakan titipan berharga yang
dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar
dan penuh tanggung jawab. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan
tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
3. Kerja adalah panggilan. Kerja merupakan suatu darma yang sesuai
dengan panggilan jiwa sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas. Jadi, jika
pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri
sendiri, “I’m doing my best!”. Dengan begitu kita tidak akan
merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
4. Kerja adalah aktualisasi. Pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk
mencapai hakikat manusia yang tertinggi, sehingga kita akan bekerja keras
dengan penuh semangat. Apa pun pekerjaan kita, entah dokter,
akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat
kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi
diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan
daripada duduk termenung tanpa pekerjaan.
5. Kerja adalah ibadah. Bekerja merupakan bentuk bakti dan ketakwaan kepada Tuhan, sehingga melalui
pekerjaan manusia
mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang
Pencipta dalam pengabdian. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas,
bukan demi mencari uang atau jabatan semata.
6. Kerja adalah seni. Kesadaran
ini akan membuat kita bekerja dengan perasaan senang seperti halnya melakukan
hobi. Sinamo mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel.
Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi
itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
7. Kerja adalah kehormatan. Seremeh apa
pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan
dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita.
Sinamo mengambil
contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap
bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas.
Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, semua novelnya menjadi
karya sastra kelas dunia.
8. Kerja adalah pelayanan. Manusia bekerja bukan hanya
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani, sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh
kerendahan hati. Apa pun pekerjaan kita,
pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.
Anoraga (2009) juga memaparkan secara eksplisit beberapa sikap
yang seharusnya mendasari seseorang dalam memberi nilai pada
kerja, yang disimpulkan sebagai berikut:
1. Bekerja adalah hakikat kehidupan manusia.
2. Bekerja adalah suatu berkat Tuhan.
3. Bekerja merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral.
4. Bekerja merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan
berbakti.
5. Bekerja merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih
Dalam tulisannya, Kusnan (2004) menyimpulkan
pemahaman bahwa etos kerja mencerminkan suatu sikap yang memiliki dua alternatif,
positif dan negatif. Suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan
memiliki etos kerja yang tinggi apabila menunjukkan
tanda-tanda sebagai berikut:
1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja
manusia,
2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat
luhur bagi eksistensi manusia,
3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi
kehidupan manusia,
4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan
sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,
5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah.
Bagi individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos
kerja yang rendah, maka akan ditunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya (Kusnan,
2004), yaitu :
1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri,
2. Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia,
3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh
kesenangan,
4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,
5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup.
Dari berbagai aspek yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki etos kerja tinggi akan terus
berusaha untuk memperbaiki dirinya, sehingga nilai pekerjaannya bukan hanya
bersifat produktif materialistik tapi juga melibatkan kepuasaan spiritualitas
dan emosional.
Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Etos Kerja
Etos (etika) kerja dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:
1.
Agama
Dasar pengkajian kembali makna etos
kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max Weber.Salah
satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas (rationality) menurut Weber (1958) lahir
dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem
nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya.
Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran
agama yang dianutnya jika ia sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan
demikian, kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu
pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan
atau modernisasi.
Weber memperlihatkan bahwa doktrin predestinasi dalam
protestanisme mampu melahirkan etos berpikir rasional, berdisiplin tinggi,
bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar
kesenangan --namun hemat dan bersahaja (asketik), dan suka menabung serta berinvestasi,
yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya kapitalisme di dunia modern.
Sejak Weber menelurkan karya tulis The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), berbagai
studi tentang etos kerja berbasis agama sudah banyak
dilakukan dengan hasil yang secara umum mengkonfirmasikan adanya korelasi
positif antara sebuah sistem kepercayaan tertentu dengan kemajuan
ekonomi, kemakmuran, dan modernitas (Sinamo, 2005).
2.
Budaya
Luthans (2006) mengatakan bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat
kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara operasional juga
disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem
orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki
sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang
konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak
memiliki etos kerja.
3.
Sosial politik
Menurut Siagian (1995), tinggi atau rendahnya
etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada atau
tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan
dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
4.
Kondisi lingkungan (geografis)
Siagian(1995) juga menemukan
adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi
geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di
dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan
bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan
tersebut.
5.
Pendidikan
Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya
manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos
kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada
pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan
pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula
aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi (Bertens, 1994).
6.
Motivasi intrinsik individu
Anoraga (2009) mengatakan bahwa individu memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu
yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang
tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini
menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi juga etos kerja
seseorang.
Menurut Herzberg (dalam Siagian, 1995), motivasi yang
sesungguhnya bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam (terinternalisasi) dalam diri sendiri,
yang sering disebut dengan motivasi intrinsik. Ia membagi faktor pendorong
manusia untuk melakukan kerja ke dalam dua faktor yaitu faktor hygiene dan faktor motivator. Faktor hygiene
merupakan faktor dalam kerja yang hanya akan berpengaruh bila ia tidak ada,
yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Ketidakhadiran faktor ini dapat mencegah
timbulnya motivasi, tetapi ia tidak menyebabkan munculnya motivasi. Faktor ini disebut juga faktor ekstrinsik, yang termasuk
diantaranya yaitu gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijaksanaan
organisasi, hubungan dengan rekan kerja, dan supervisi. Ketika sebuah
organisasi menargetkan kinerja yang lebih tinggi, tentunya organisasi tersebut
perlu memastikan terlebih dahulu bahwa faktor hygiene tidak menjadi penghalang dalam upaya menghadirkan motivasi
ekstrinsik.
Faktor yang kedua adalah faktor motivator sesungguhnya, yang mana ketiadaannya bukan berarti
ketidakpuasan, tetapi kehadirannya menimbulkan rasa puas sebagai manusia.
Faktor ini disebut juga faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi pencapaian
sukses (achievement), pengakuan (recognition),
kemungkinan untuk meningkat dalam karier (advancement), tanggungjawab (responsibility),
kemungkinan berkembang (growth
possibilities), dan pekerjaan itu sendiri (the work itself). Hal-hal
ini sangat diperlukan dalam meningkatkan performa kerja dan menggerakkan pegawai
hingga mencapai performa yang tertinggi.
Dengan memahami apa itu etos kerja, serta
aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menerapkan etos kerja serta faktor-faktor yang mempengaruhinya
diharapkan sebuah organisasi (termasuk organisasi Kementerian Keuangan) akan meningkat produktifitas dan profesionalitas kerjanya.
Indonesia sangat membutuhkan peningkatan
etos kerja di semua lini organisasi pemerintahan dan swasta, sehingga di masa depan dapat terwujud bangsa Indonesia yang maju dan disegani masyarakat internasional.
****
Daftar Bacaan :
Lubis,
Satria Hadi. 2011. Bahan Ajar Etika
Profesi PNS. STAN, Tangsel.
Bertens, K. 1994. Etika.Gramedia,
Jakarta.
Sinamo,
Jansen. 2005. Delapan Etos Kerja Profesional:
Navigator Anda Menuju Sukses. Grafika Mardi Yuana, Bogor.
Anoraga, Pandji. 2009. Manajemen Bisnis. Rineka Cipta, Jakarta.
Kusnan, Ahmad. 2004. Analisis
Sikap, Iklim Organisasi, Etos Kerja dan Disiplin Kerja dalam menentukan
Efektifitas Kinerja Organisasi di Garnisun Tetap III Surabaya. Tesis.
Universitas Airlangga, Surabaya.
Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi. Andi, Yogyakarta.
Siagian,
Prof. Dr. Sondang P.1995. Teori Motivasi Dan Aplikasinya. Rineka Cipta, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar