By. Satria hadi lubis
Sering kita melihat di medsos, postingan foto/video suami istri yang mesra. Bahkan foto/video orang pacaran yang kelewat batas mesranya, sehingga bisa disebut sebagai foto yang mengumbar kemaksiatan.
Kesan dari yang melihat foto-foto kemesraan tersebut beragam. Ada yang turut bahagia, ada yang biasa-biasa saja, ada yang merasa tidak etis, tapi ada juga yang iri dengan kemesraan pada foto/video tersebut.
Dulu saya pernah ditegur via DM, "Ustadz....jangan sering-sering memajang foto kemesraan dengan istri donk....kan jadi iri nih bagi saya yang jomblo atau bagi orang lain yang keluarganya tidak harmonis."
Semenjak itu, saya jadi jarang memasang foto kemesraan dengan istri di medsos. Dulu sering karena ingin menjadikan hal tersebut sebagai arsip keluarga juga. Seperti diketahui, fungsi memposting foto di medsos, seperti di Facebook dan Instagram, bisa juga untuk menjadi alat dokumentasi.
Lepas dari ikhtilaf hukum agama memasang foto dengan pasangan di medsos (ada ulama yang mengharamkan, ada juga yang berpendapat mubah) sebaiknya perlu dipertimbangkan kembali apa motif kita memasang foto/video kemesraan tersebut. Apakah untuk riya' (pamer), untuk bersyukur, untuk berdakwah, untuk dokumentasi, sekedar iseng, atau bahkan untuk membuat iri orang lain.
Namun bagi kita yang melihat foto/video kemesraan suami istri di medsos sebaiknya tetap bersikap husnuzhon (bersangka baik) dan mendoakan semoga apa yang terlihat di foto tersebut sesuai dengan realitanya.
Saran saya, sebaiknya foto kemesraan yang kelewat batas jangan sering ditampilkan ke publik agar tidak terkesan pamer imoral dan juga untuk menjaga perasaan yang melihatnya. Janganlah kita bersikap semau gue dan cuek dengan reaksi publik.
Jika pun ingin menampilkan foto kemesraan dengan pasangan sebaiknya itu foto yang jujur dan wajar. Bukan hoax, karena faktanya ada juga yang memposting foto mesra tapi sebenarnya ada kisah sedih dan tragedi di balik foto mesra tersebut.
Postinglah foto dengan pasangan karena niat untuk berdakwah tentang keharmonisan keluarga. Sambil tetap memperhatikan kepatutan etis serta tidak melanggar norma-norma agama dan budaya ketimuran di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar