Rabu, 06 Maret 2019
MENSURIAHKAN INDONESIA
Benarkan Indonesia bisa menjadi seperti Suriah? Dimana terjadi perang "saudara" tak ada habisnya? Jawabannya : Bisa! Asalkan terpenuhi dua syarat utama yang terjadi di Suriah. 1. PENGANUT SYIAH MAKIN BANYAK. Di Suriah, sekitar 75% warganya adalah muslim sunni dan 12% adalah Syiah. Mazhab Syiah paling dominan di Suriah adalah Syiah Alawi atau dikenal juga dengan Nushairiyyah. Syiah terbesar kedua adalah Syiah Imamiyah Itsna Asyariah (12 Imam). Di Indonesia, saya tidak tahu berapa banyak orang syiah, tapi sepertinya belum sampai sebanyak seperti di Suriah. Dari berbagai literatur sejarah Islam, kebencian orang Syiah terhadap kaum muslimin sangat mendarah daging. Jika jumlah mereka makin banyak, apalagi sampai berkuasa seperti rezim Assad di Suriah, maka mereka akan berani mengobarkan perang "saudara" dengan berbagai dalih, seperti yang juga terjadi di Iraq, Lebanon dan Bahrain (melalui percobaan kudeta). Oleh sebab itu, penganut Syiah di Indonesia harus dibatasi. Pemerintah dan umat Islam Indonesia perlu bahu membahu menyadarkan masyarakat akan bahaya ajaran syiah yang dapat menjadikan Indonesia seperti Suriah, merusak keutuhan NKRI. Tidak ada dalam sejarah Indonesia sesama kaum muslimin sampai mau berperang mengangkat senjata (apalagi membayangkan NU berperang melawan Muhammadiyah, FPI atau kelompok Islam lainnya...wah mustaaahilll). Paling banter antar umat Islam itu hanya perang "kata-kata" di medsos. Yang kalau ketemu juga akan damai lagi. 2. MASUKNYA KEKUATAN ASING Syarat kedua Indonesia bisa menjadi Suriah adalah masuknya kekuatan asing. Itu pun jika masuknya berupa kekuatan militer, bukan hanya sekedar psywar (ghozwul fikri). Di awal perang Suriah, syiah dan rezim Assad yang minoritas sebenarnya sudah hampir tumbang. Namun kemudian masuklah militer asing (Rusia, Iran, Hizbullah, dll) yang membantu syiah dan rezim Assad, sehingga kondisi berbalik dan perang suriah menjadi berkepanjangan seperti sekarang. Jika kekuatan militer asing tidak masuk ke Indonesia maka dapat dipastikan Indonesia tidak akan bernasib sama seperti Suriah. Apalagi umat Islam Indonesia budayanya lebih soft (halus) dan toleran, maka lebih kecil kemungkinannya untuk terjadi perang saudara. Kecuali ya itu....dipengaruhi oleh kekuatan asing. Jika dua syarat utama di atas tidak ada, maka Indonesia akan aman-aman saja. Panasnya hanya di medsos atau demo-demo saja. Namun tidak sampai perang senjata sesama muslim. Jadi jika sekarang ini ada orang atau kelompok kecil tertentu yang memprogandakan kekuatiran berlebih bahwa Indonesia bisa menjadi seperti Suriah jika pemilu dimenangkan oleh calon presiden 01 atau 02, maka itu hoax untuk menakut-nakuti saja. Bagian dari ghozwul fikri (perang pemikiran) dengan tujuan membuat masyarakat phobia (takut berlebihan) terhadap maraknya kegiatan keislaman saat ini. Justru dengan maraknya kegiatan keislaman dan meningkatnya fenomena hijrah, terutama di kalangan muslim milenial, malah mestinya didukung oleh semua komponen bangsa. Sebab akan memperkokoh kekuatan NKRI dan melanggengkan kebhinnekaan yang dibangun pendiri bangsa ini. Sejarah membuktikan, umat Islam Indonesia yang mayoritaslah (dengan dua kekuatan ormas terbesar : NU dan Muhammadiyah) yang paling gigih mempertahankan keutuhan NKRI, baik umat Islam yang ada di militer maupun di sipilnya. Wallahu'alam bis showab.
MENGAPA MUSLIM MENYEBUT NON MUSLIM DENGAN KAFIR?
Istilah kafir untuk non muslim kembali viral. Ini gara-gara Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2019 di Kota Banjar, Jawa Barat, 27/2 sd 1/3/2019, menghasilkan kesepakatan untuk tidak menggunakan sebutan kafir kepada warga Indonesia nonmuslim. Sebagai gantinya, para kiai memilih kata muwathinun atau warga negara. Mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Kafir berasal dari kata kafaro (menutup). Istilah 'Kafir' juga berarti orang yang sifatnya 'kufur', yang berarti menyembunyikan atau menolak. Dalam istilah Islam, 'Kafir' berarti orang yang menyembunyikan atau menolak kebenaran Islam. Dalam bahasa Indonesianya, orang-orang yang menolak Islam disebut 'non-Muslim.' Jadi ketika seorang Muslim menyebut mereka dengan istilah ‘kafir’, ini bukan bermaksud melecehkan, melainkan sebutan ‘kafir’ sama dengan menyebut mereka ‘non-Muslim.’ Mengapa sebagian orang Kristen marah dan menolak disebut kafir oleh orang Islam? Karena mereka memakai terminologi sendiri yg berbeda dgn orang Islam. Kalau orang Islam mengartikan kafir sebagai orang yg bukan beragama Islam. Tetapi orang Kristen mengartikan kafir sesuai dgn Al Kitab, yakni orang yg tidak bertuhan (atheis) dan jahat. Ini masalahnya. Sampai kapanpun tidak akan ketemu jika terminologi sebuah agama dipaksakan untuk memahami terminologi kata (istilah) yg sama di dalam agama lain. Semestinya orang Kristen tidak usah marah dikatakan kafir oleh orang Islam karena artinya "hanya" orang yg bukan beragama Islam. Jadi demi menjaga kerukunan agama dan kebhinnekaan, kata kafir jangan diartikan menurut agamanya jika digunakan oleh pemeluk agama lain. Biarlah muslim menggunakan kafir sesuai dengan terminologi agamanya. Orang Kristen tidak usah tersinggung dan marah. Sebaliknya orang Islam juga jangan menggunakan kata kafir secara demonstratif di depan orang Kristen karena sadar mereka mempunyai arti yg berbeda tentang kata kafir. Gunakan saja kata "non muslim" atau "yang beragama selain Islam". Namun jika di kalangan internal sesama muslim afdholnya menggunakan kata kafir untuk menyebut non muslim. Sebab itu adalah bahasa Al Qur'an. Siapa lagi yang akan menjaga bahasa Al Quran kecuali orang Islam? Jangan takut dan minder memasyarakatkan bahasa Al Qur'an di sesama muslim. Seperti kata kafir, jangan "diperhalus" dgn istilah lain yg tidak berasal dari Al Qur'an demi menyenangkan orang yg tidak menyukainya. Jadi tidak perlu ada munas yang membuat rekomendasi "aneh" untuk menghilangkan bahasa Al Quran, yaitu kafir. Untuk saudara-saudaraku yang non muslim.... Kenapa harus marah disebut kafir? Padahal itu hanya status yang tak ada kaitannya dengan moral? Sama seperti ucapan “Mukidi orang Jawa” atau “Asiong Orang China” atau “Obama Orang Amerika”. Itu hanya status. Tak lebih dan tak kurang. Saat menyebut seseorang sebagai kafir, itu BUKAN tuduhan yang berbau vonis bahwa anda tidak bermoral, anda bejat, dan seterusnya. Sekali lagi, ini hanya soal status. Setiap status tentu berkaitan dengan hak dan kewajiban tertentu. Misalnya saat kita bertemu teman sesama Muslim, ada perintah untuk mengucapkan “Assalamualaikum….”. Tapi untuk teman nonmuslim, perintah seperti itu tentu tak ada. Contoh lain, status muslim membuat seseorang wajib membayar zakat. Status kafir tidak bayar zakat. Jika Anda yakin akan kebenaran agama Anda, jika Anda yakin agama Anda baik, tentu tak perlu marah atau tersinggung disebut kafir, bukan? Coba lihat bagaimana sikap umat Islam terhadap ajaran agama lain. Pada ajaran Kristen, semua yang tidak menerima Yesus sebagai tuhan disebut sebagai “domba yang tersesat”. Umat Islam tentu tidak mengakui Yesus sebagai tuhan. Karena itu, orang Islam termasuk golongan “domba yang tersesat” (versi Kristen) tersebut. Namun apakah kita umat Islam selama ini pernah marah atau tersinggung disebut “domba yang tersesat”? TAK PERNAH SEKALIPUN. Karena kita yakin akan kebenaran Islam. Karena yakin benar, maka sebodoh amat dengan semua julukan dari agama lain untuk kita. Emang gue pikirin. Terserah mereka menyebut kita apa saja. Itu tak akan berpengaruh apapun terhadap keyakinan kita. Betul? Jadi jika Anda tetap tidak suka disebut kafir padahal sudah dijelaskan panjang lebar disini, cara terakhirnya gampang. Silahkan masuk Islam. Just that simple...😊
DILAN VS TA'ARUF
Sekuel film Dilan mencatat rekor penonton terbanyak di hari perdana penayangannya. Tercatat 880.000 orang nonton di hari pertama film ini diputar, kamis 7 Maret 2019. Kabarnya film ini menarik karena kisah cinta antara Dilan dan Melia yang kelewat lebay dengan kata-kata romantisnya. Namun yang jelas, film ini "merestui" pacaran sebagai momen tak terlupakan di masa remaja. Membuat penontonnya hanyut mengiyakan bahwa pacaran adalah nostalgia indah di masa remaja. Bahkan kalau remaja tidak pacaran sepertinya kurang "sah" untuk menjadi remaja. Karena saya tidak menonton film Dilan yang pertama maupun sekuelnya, saya tidak tahu pacaran gaya apa yang ditawarkan Dilan dan Melia. Apakah pacaran sebatas kata-kata romantis yang lebay saja. Atau "sekedar" liat-liatan dan bersentuhan tangan dalam kondisi panas dingin. Atau sampai jalan berduaan dan melakukan hubungan badan. Namun yang jelas budaya pacaran --dengan berbagai gayanya-- sudah mewabah di kalangan remaja Indonesia. Dianggap biasa dan tidak lagi dianggap sebagai dosa zina. Rasulullah saw bersabda : "Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya" (HR. Ahmad no. 15734). Allah swt berfirman tentang haramnya pacaran : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”(QS. Al Isro’ [17] : 32). Wahai anak muda....tahukah kalian jika ada model memadu kasih antara lelaki dan perempuan yang jauh lebih romantis daripada versi Dilan?? Model yang membuat hati kamu klepak-klepek sepanjang masa? Model itu adalah TA'ARUF (berkenalan dan langsung menikah tanpa pacaran). Model inilah yang saya lakukan dahulu dan juga dilakukan oleh sebagian anak muda milenial saat ini. Model tanpa PDKT, tanpa apel dan malam mingguan, tanpa merajuk dan manja-manjaan yang bikin bingung, tanpa riwayat sakit hati karena diputusin berkali-kali dan yang paling penting adalah tanpa dosa zina. Bercinta model ta'aruf memang luar biasa. Bayangkan..! Gak kenal secara dekat tapi udah berani ngajak nikah. Menantang banget! Cocok untuk jiwamu anak muda. Dag dig dug sampai datangnya hari H pernikahan. Baru lihat secara utuh jodoh kita di malam pertama. Bersentuhan saja bikin hati panas dingin, salting, muka udah seperti kepiting rebus, malu-malu tapi mau..ahhh serba salah. Indahnya bukan main! Hati ini diselimuti cinta suci tanpa nafsu jahat dan PHP. Lebih indahnya lagi setelah malam pertama, mereka yang menikah pakai model Ta'aruf mulai berusaha saling memahami, menghargai, memperhatikan dan melindungi. Mulai deh mereka "pacaran" setelah nikah, yang bawaannya pengen mesraaa terus.... tanpa ada kekuatiran dosa zina atau takut di PHP-in. Persis seperti puisi ini : Walau sering tidak terucap Namun hati kita saling menyapa di kejauhan Engkau yang tak kukenal Tapi berkata jujur tentang cinta di antara kita Akhirnya bersama Dengan canda dan serius yang dilumuri oleh rasa syukur karena saling sayang di antara kita Terima kasih karena engkau mau menua bersamaku....😠Sebaliknya, pacaran mungkin indah diawal pertemuan saja. Semakin lama pacaran semakin monoton. Bahkan ketika menikah sudah basi momen romantisnya karena kelamaan pacaran dengan berbagai gaya. Belum lagi hati orang yang pacaran selalu diselimuti rasa cemas menunggu tragedi yang akan terjadi, yakni putus dan patah hati. Atau rasa bersalah terus menerus karena berpindah dari satu zina ke zina yang lain. Sedih melihat korban pacaran bergelimpangan disana-sini. Oleh karena itu, model ta'aruf justru membahagiakan. Merupakan solusi satu-satunya untuk menemukan cinta sejati yang telah diberikan Allah kepada kita semua. Model ta'aruf bukanlah seperti membeli kucing dalam karung. Dengan alasan "Tidak kenal kok langsung nikah. Yang pacaran dan sudah kenal luar dalam saja bisa cerai, apalagi tanpa pacaran", ujar mereka yang pro pacaran. Mereka lupa satu hal, mengapa model ta'aruf lebih romantis dan tingkat perceraiannya jauh lebih rendah daripada model pacaran. Hal itu disebabkan model ta'aruf lebih diridhoi oleh Allah swt. Disitu ada "Tangan" Allah yang ikut bermain membolak-balikkan hati manusia, sehingga pernikahan model ta'aruf menjadi jauh lebih romantis dan langgeng, seperti yang telah dibuktikan oleh para penikmatnya. Maha Benar Allah dengan cara-Nya menyatukan hati para kekasih. "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir" (Qs. 30 ayat 21).
KEPAHLAWANAN YANG HILANG
Dilan adalah fenomenal sekaligus memprihatinkan. Walau Dilan tokoh fiktif, tapi copiannya berupa remaja absurd yang tahunya hanya cinta dan hedon lahir dimana-mana. Dilan adalah potret remaja milenial yang miskin cita-cita besar.
Tak sebanding dengan Muhammad Al Fatih, seorang pemuda bergelimang harta yang dari lahir sudah digembleng untuk jadi pahlawan. Yang dipikirkannya bagaimana membebaskan bangsa-bangsa dengan menaklukan kecongkakan Romawi Timur sang penjajah adidaya di jamannya.
Kelak di usia 23 tahun, Sultan Muhammad al Fatih memimpin 250 ribu pasukan dan mengepung benteng Konstatinopel berbulan-bulan sampai akhirnya berhasil menaklukannya. Kisahnya heroik dan melegenda dari masa ke masa.
Didikan Islam yang benar mampu melahirkan pahlawan seperti Muhammad al Fatih. Juga Sholahuddin al Ayyubi, Thariq bin Jiyad, Musa bin Nushair, dll. Melahirkan ulama seperti Imam Syafi'i, Hambali, Hanafi, Maliki, yang sejak remaja sudah berpikir luas mendunia (istilah sekarangnya negarawan) sebagai seorang faqih. Juga melahirkan tokoh ilmuwan, seperti ibnu Sina, al Khawarizmi, ibnu Khaldun, ibnu Haitham, Umar Khayyam, dll.
Mereka adalah contoh kecil orang hebat dari sebuah masyarakat maju Islami yang mampu memimpin dunia selama kurang lebih 1400 tahun (mulai dari hijrahnya Nabi tahun 622 M sampai runtuhnya Khilafah Turki Utsmani 1924 M). Walau bersilih ganti kekhalifahannya, tapi umat Islam terus memimpin dunia. Eropa dan Amerika waktu itu masih dalam keterbelakangan.
Mereka membuktikan janji Allah dari surat ali Imron ayat 101: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Namun itu dulu, ketika pendidikan dan media masih Islami, sehingga lingkungan juga Islami. Sekarang beda, pendidikan dan media lebih cenderung melahirkan generasi Dilan, yang hobinya pacaran, tawuran, ngegames, dan pindah dari satu hedon ke hedon lain. Bangga, tertawa dan menangisnya karena si doi, bukan karena bangsanya maju atau dijajah bangsa lain.
Satu contoh saja, makin banyak remaja saat ini yang terjerumus perbuatan zina. Sebuah studi tentang perilaku seks
remaja memperoleh hasil sekitar 25% – 51%
remaja telah berhubungan seks pranikah (Utomo ID, McDonald P. Adolescent reproductive health in Indonesia:
contested values and policy inaction. Studies in Family Planning Journal.
2009; 40 (2): 133-46).
Adakah yang salah dalam cara kita mendidik remaja? Mengapa banyak remaja Indonesia yang terlambat untuk dewasa? Sehingga sikapnya tidak bertanggung jawab dan kurang mandiri?
Semua ini berawal dari kesalahan paradigma bahwa ada fase remaja dalam kehidupan setiap orang. Padahal sebenarnya tidak ada fase "Dilan" itu. Itu hanya akal-akalan atas nama ilmu (psikologi) yg diciptakan para penjajah agar pemuda di negara jajahannya lambat dewasa. Tetap membeo dan tidak kritis.
Padahal fitrahnya tidak ada fase remaja itu. Fase yang mentolerir adanya kegalauan dan pubertas, sehingga lingkungan harus maklum jika remaja berbuat salah. Tidak boleh dihukum dan diberikan sangsi sosial.
Yang ada sebenarnya hanya fase anak, pemuda dan dewasa. Fase anak dimulai semenjak lahir sampai akil baligh. Fase pemuda dimulai dari aqil baligh (haid/mimpi basah pertama kali, kisaran usia 12-15 tahun) sampai usia 25 tahun. Dan dewasa di usia 25 tahun ke atas. Pada fase pemuda, setiap orang sudah dituntut untuk bersikap dewasa. Juga boleh menikah dan mencari nafkah sebagai ciri kedewasaan seseorang.
Pendidikan "modern" di Indonesia yang terpengaruh westernisasi lalu memasukkan fase remaja sebagai fase transisi. Dimana sang remaja boleh labil dan belum dianggap cukup akalnya. Masih perlu dilindungi oleh undang-undang (perlindungan anak), sehingga jika sang remaja bermaksiat atau melakukan tindakan kriminal belum boleh dihukum atas nama HAM yg keblinger.
Hasil dari pendidikan dan budaya yg mentolerir fase remaja ini akhirnya memunculkan banyak remaja yang cengeng, manja, egois, cuek, dan kurang ajar (tidak tahu sopan santun). Kasus pemukulan guru di berbagai tempat membuktikan bahwa remaja Indonesia tumbuh kurang dewasa.
Diam-diam, negara maju pun juga sudah mengkoreksi cara mereka mendidik remaja. Kurikulum pendidikan mereka sudah bergeser meniru pendidikan (Islam) yang tidak mengenal fase remaja. Pendidikan vokasi sudah diajarkan sejak SMP di Jepang. Sekolah di Inggris lebih banyak menekankan manner (soft competency). Di Korsel, pendidikan menekankan sikap kesatria dan kejujuran. Di Finlandia, jam sekolah dibatasi dan tidak ada PR agar anak lebih banyak terjun dalam kehidupan nyata.
Sedang di Indonesia yang masyarakatnya masih kesengsem dengan apa saja yg datang dari Barat malah ketinggalan jaman. Teori pendidikan yang dipakai oleh banyak pendidik malah mazhab yang memanjakan remaja. Melindungi anak dari kesalahan yang dilakukan remaja atas nama HAM anak. Yang justru sudah disadari kekeliruannya oleh para pendidik yang kritis di Barat sana.
Sudah saatnya, orang tua dan guru di Indonesia kembali kepada pendidikan yang lebih Islami. Lebih berani mendidik kemandirian kepada anak didik yg sudah akil baligh. Jangan memanjakan remaja. Jangan memaklumi remaja yang kurang ajar dan tidak disiplin. Jangan takut memberikan pendidikan dengan punishment yg tegas (walau reward juga tetap diberikan).
Jangan terpengaruh oleh doktrin pendidikan ramah anak (remaja) yang tak boleh menghukum remaja usia aqil baligh. Selain tidak Islami, juga tidak mendidik adversity quotient (kecerdasan survival) remaja. Jangan melindungi remaja dari "bully" teman-temannya atau media sosial selama itu masih wajar, agar mentalnya kuat berlapis baja. Jangan takut jiwa remaja akan terluka jika mereka diberikan sangsi sosial karena perbuatan salah mereka. Pendek kata, jangan terpengaruh dengan teori pendidikan sok modern yg berlindung atas nama HAM, demokrasi atau nama nyeleneh lainnya, tapi ujungnya hanya memanjakan remaja. Membuat remaja menjadi generasi Dilan yang cengeng, pengecut dan labil serta tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Setiap remaja seharusnya sudah menjadi pemuda dengan karakter dewasa setelah akil baligh. Itulah sebabnya mereka diberikan dosa jika salah dan pahala jika benar oleh Allah swt, sebagai tanda mereka harus sudah mandiri dan bertanggung jawab.
Wahai pemuda pahlawan umat dan bangsa...!
Terbanglah ke angkasa yang tinggi
Jangan sibuk mengais pernik-pernik dunia
Sebab bukan untuk itu engkau diciptakan.
TENGGELAMNYA SEORANG PEMBOHONG
Seorang pemuda belajar berenang. Ia menjadi ahli dalam bidang ini dan sangat bangga akan keterampilannya. Ia selalu berenang di sebuah sungai yang mengalir setiap hari. Pada suatu hari, saat berenang, ia melihat sebuah perahu penuh penumpang yang bergerak di dekatnya. Ia berpura-pura tenggelam dan berteriak keras, “Tolong aku, aku tenggelam!” Beberapa orang yang berpakaian rapi segera melompat ke dalam sungai dan berenang dengan sekuat tenaga untuk menyelamatkan pemuda tersebut. Ketika mereka sampai pada pemuda itu, ia tertawa keras dan berkata, “Saya telah menggoda Anda, saya seorang ahli dalam berenang!” Ia pun dengan cepat berenang menjauh dari mereka. Mereka pun mengutuk pemuda itu dan kembali ke perahu dengan marah dalam keadaan baju basah kuyup. Beberapa kali ia melakukan hal serupa kepada penumpang lain yang perahunya lewat di sungai tersebut. Ia mendapat keasyikan tersendiri karena bisa mentertawakan orang-orang yang tertipu akibat perbuatannya. Suatu saat, sungai itu banjir. Pemuda itu dengan penuh percaya diri, seperti biasa, berenang di sungai. Ia tertangkap pusaran air di sungai dan tidak bisa melarikan diri. Ia berteriak keras untuk mendapatkan bantuan. Sebuah perahu sudah mendekat, tapi karena setiap orang telah mendengar tentang penipuan yang dilakukan pemuda itu, tidak ada yang peduli padanya. Mereka berpikir bahwa ia akan menipu mereka lagi, dan mereka pun pergi meninggalkan pemuda tersebut. Pemuda itu lalu tersedot ke pusaran air dan terbunuh. Mayatnya mengapung di atas air pada hari berikutnya. Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita: 1. Jangan suka berbohong, walau untuk suatu candaan atau untuk mentertawakan orang lain. Berbohong bisa seperti narkoba, menagih dan membuat pelakunya tidak lagi merasa bersalah untuk berbohong. 2. Orang yang suka berbohong akan sulit mendapatkan kepercayaan walau saat itu sebenarnya ia sedang tidak berbohong. 3. Kita tidak harus berbohong, meski mengatakan kebenaran dapat menyebabkan kerugian, penderitaan, atau sakit. Kita tidak harus berbohong jika berbohong mungkin memberi kita uang, kekuasaan, atau kesenangan. 4. Pada akhirnya, berbohong akan mencelakakan diri kita sendiri. Orang lain akan menyaksikan kejatuhan seorang pembohong tanpa rasa kasihan. Sebab semua orang tidak suka dengan seorang pembohong.
KANGEN LIQO'
Jalan Anggrek Nelimurni, Slipi saat ini, sepertinya tak banyak berubah dibandingkan awal tahun 1991. Kalau malam, jalan di kawasan tersebut sepi. Kalau pagi cukup macet, karena digunakan pengendara untuk menuju kawasan Jalan S Parman dan Tomang Raya. Tahun 1991, setiap pekan, pada malam-malam yang disepakati saya naik bus, turun di Halte RS Harapan Kita atau Halte Lapangan Tennis dan berjalan kaki menyusuri jalan tembus lorong sempit antara sekolah Muhamdiyah dengan perumahan warga untuk ikut liqo. Yaah..awal 1991, saya adalah pengguna setia angkutan umum. Sepeda motor masih jadi barang mewah. Kalau pulang biasanya jalan kaki dari Jalan Anggrek Nelimurni, ke arah pertigaan Kemanggisan, terus ke Jalan Olah Raga, terus lewat Pusri, terus ke arah Taman Anggrek dan Tanjung Duren. Tidak ada rasa capek dan letih saat itu, padahal pagi jam 8 sudah masuk kuliah ke Depok. Lalu sore hari nyambi kerjaan, lalu malam hari ikut tarbiyah (liqo'), dan pulang ke rumah sampai jam 11 malam. Bahagia. Ceria. Penuh semangat dan optimis menatap kebesaran asma Allah SWT. Tiap sabtu dan ahad selalu ke arah villa di puncak untuk dauroh. Tetap dengan naik bis umum. Hari berganti, dan waktu terus berjalan. Hampir tiada hari tanpa kalimat tarbiyah. Buku yang dibaca adalah buku tarbiyah. Sesekali waktu melakukan bedah buku, di antaranya karya Ustadz Abu Ridho. Selain itu, ada juga buku yang saya baru paham maknanya saat ini karya Ustadz Fathi Yakan. "Yang berguguran di Jalan Dakwah" Ahhhh.... Sudah lama ternyata .. Sudah 27 tahun saya bersama Tarbiyah. Kenangan yang membahagiakan.... Pada era itu, belum ada satupun di dalam kelompok liqo' kami yang menikah, sehingga perbincangan soal menikah selalu menjadi topik menarik. Grup liqo' kami sangat beragam. Namun kami dapat dipertemukan dalam semangat ukhuwah Islamiyah. Subhanallah... Seiring berjalannya waktu... ada anggota grup kami yang mulai menikah dan berkeluarga. Lalu diikuti oleh yang lain, menikah satu persatu. Tanpa pacaran. Hanya dengan ta'aruf yang dibantu oleh murobbi kami atau teman satu liqo'. Syukurlah.. Masa itu sudah lewat. Sebagian kami tetap komitmen dalam tarbiyah, walau sudah ganti murobbi. Sebagian lagi sudah tidak lagi tarbiyah dengan berbagai alasan. Bahkan sudah tidak ada lagi kabarnya. Entah apa yang sedang dilakukan... Syukur kehadirat Ilahi Robbi.. Dari kawasan Jalan Anggrek Nelimurni itulah kami ditarbiyah dan digembeleng menjadi seperti sekarang. Kami disemangati untuk terus berkarya dan beramal. Kami membentuk LP***... Lembaga pelatihan yang cukup fenomenal saat itu. Bayangkan.... lembaga amatiran tapi berani pasang iklan pelatihan di koran Republika.. Hebat.. Topp markotop. Kami juga dipaksa menjadi penulis dan penerbit bulletin Jumat, Mis****. Cetaknya di kota Bambu. Hidup 7 tahun setelah itu tamat...hehe. Tapi itu pelajaran yang sangat hebat. Yaah... Itu perjalanan yang sudah lampau.. Lampau sekali... Masa lampau adalah masa yang bukan milik kami. Sebagian kami sudah berbeda sekarang.. Sebagian masih serupa dan sebagian lagi tertatih tatih. Namun Rumah di Jalan Anggrek Nelimurni itu masih tampak tetap sama sampai sekarang. Menjadi saksi dari kehadiran kami di jalan dakwah. Ya Allah Ya Rabb.... Kami memohon dan bermunajat. Semoga Engkau tetap mengukuhkan kami dalam jalan dakwah ini bersama orang orang shalih, rendah hati dan selalu ikhlas. Yaa muqolibal quluub, tsabit qulub ala diinika. Aamin. **** Tulisan di atas adalah tulisan seorang ikhwah yang mengenang perjalanan dakwahnya. Setiap ikhwah pasti memiliki kenangan manis yang sama seperti penulis di atas, dengan konteks yang berbeda-beda. Terutama kenangan manis ketika pertama kali bersentuhan dengan jalan dakwah. Ada pesona, semangat, keikhlasan, keceriaan dan gelora untuk berkhidmat demi Allah, Rasul dan jama'ah. Saya juga merasakan kenangan indah itu sampai sekarang. Antara lain, ketika tahun 1988 saya di ultimatum murobbi untuk segera punya binaan, untuk menangani halaqoh. Murobbi saya bilang, "Had... ente harus segera membina. Ente ane kasih waktu tiga bulan! Kalau kagak bisa...ente gak usah ngaji sama ane. Ngapain ane punya binaan mandul!" Perkataan murobbi saya yang orang betawi itu terasa sakit banget, tapi menyentuh dan menggerakkan. Sampai akhirnya, saya memaksa diri untuk membina dengan segala keterbatasan. Hanya modal PD saja tanpa ilmu. Walau akhirnya learning by doing. Dan lama kelamaan semakin "mahir" menangani liqo dgn segala persoalannya. Sampai akhirnya bisa nulis buku-buku tentang halaqoh. Kenangan di jalan dakwah memang indah dan tak bisa dilupakan. Memutus masa lalu, apalagi masa lalu di jalan dakwah, merupakan kesalahan. Makanya saya heran dengan segelintir ikhwah yang tanpa merasa bersalah keluar dari jama'ah untuk ikut organisasi arah baru atau bahkan tidak ngaji lagi sama sekali dalam sebuah amal jama'i. Bagaimana ia akan bernostalgia indah tentang masa lalunya di jalan dakwah ketika di surga kelak? Padahal nanti di surga, kerjaan kita banyak mengobrol, bernostalgia tentang masa lalu di dunia, termasuk masa lalu kita di jalan dakwah. Maka bertahannya saya di jalan dakwah dan di dalam jamaah ini insya Allah, bukan hanya karena tentang komitmen saja, tapi juga demi MENJAGA KENANGAN MANIS di jalan dakwah yang akan saya perbincangkan berlama-lama di surga kelak bersama ikhwah-ikhwah kaum muslimin lainnya (Ya Allah...masukkan kami semua ke surga-mu kelak..ðŸ˜). Bertahannya kita di jalan tarbiyah dan dakwah ini adalah demi menjaga kisah happy ending perjalanan dakwah kita masing-masing. Kenangan ini belum tentu dimiliki oleh semua orang, sehingga beruntunglah mereka yang sudah pernah ini liqo' (tarbiyah). Mereka harus menjaga tarbiyah dan dakwah ini sampai mati. Dan jangan tinggalkan tarbiyah ini, apapun alasannya. Karena semua alasan adalah dusta, kecuali alasan hanya karena terpikat dengan perhiasan duniawi dan mengikuti hawa nafsu. Allah swt berfirman : "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas" (Q.s. al Kahfi ayat 28). Wahai saudaraku....milikilah kenangan indah itu dengan terus berada di jalan dakwah dan tarbiyah ini. Allahu Akbar!!
UNIVERSALITAS LIQO'
Saya sering mendapat pertanyaan dengan nada kuatir, apakah liqo' (istilah lainnya: mentoring, halaqoh, usroh, pengajian kelompok, dinamika kelompok, ta'lim, tarbiyah, dan lain-lain) membuat pesertanya menjadi eksklusif, bahkan radikal? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita mulai dari definisi liqo' itu sendiri. Mentoring atau liqo' adalah wadah bagi sekelompok orang (biasanya tidak lebih dari 15) untuk mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai tertentu yang dibimbing oleh seorang mentor (istilah lainnya : murobbi, naqib, pembina, pembimbing, ustadz, dll). Dalam literatur dikatakan, mentoring sebagai proses yang menggunakan berbagai aspek termasuk kemahiran oleh orang yang berpengalaman melalui bimbingan, pendidikan dan latihan kepada orang lain bagi tujuan pembelajaran (Shahizan Hasan dan Tsai Chen Chien). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa semua kumpulan di masyarakat asalkan ada seseorang yg bertindak sebagai mentor dan mereka bertemu rutin untuk mencapai tujuan tertentu bisa disebut dgn mentoring. Sejak kapan mentoring ada di dunia ini? Wallahu'alam. Namun sebagian ulama siroh meyakini bahwa Rasulullah saw juga menerapkan mentoring sebagai salah satu metode dakwahnya, baik di periode Mekah maupun Madinah. Misalnya, ketika beliau saw mengumpulkan para sahabat di rumah Arqom bin Abil Arqom untuk mengaji rutin di awal kerasulan beliau. Atau ketika beliau membuka ta'lim di Mesjid Nabawi setelah futuh Mekah. Jadi jika ada yg mengatakan bahwa mentoring (liqo') adalah metode dakwah khusus milik jama'ah Ikhwanul Muslimin maka itu keliru. Bahkan saya pernah membaca sebuah buku (lupa judulnya) yg mengatakan bahwa Hasan al Banna (pendiri IM) sebenarnya mencontoh tarbiyah untuk anggota IM dari partai komunis yg waktu itu sedang jaya di berbagai belahan dunia. Anggota partai komunis (termasuk Partai Komunis Indonesia) dikenal teguh karena mereka menggunakan sistem sel (mentoring) dalam pengkaderan anggotanya. Jadi liqo' sebenarnya adalah wadah pembelajaran yg universal dan fleksibel. Contoh di dunia bisnis, sudah lama dikenal betapa pentingnya mentoring dan coaching jika seseorang ingin sukses dalam berbisnis. Di agama Kristen, ada pembinaan remaja di gereja-gereja tertentu dgn sistem mentoring. Saya pernah melihat berbagai kumpulan mentoring Kristen waktu berkunjung ke Victoria Park, Hongkong. Konon gerakan Iluminati Yahudi juga menggunakan mentoring bagi anggotanya. Bahkan kelompok teroris di berbagai belahan dunia juga menggunakan mentoring untuk mengkader anggotanya. Di Indonesia, bukan hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yg menerapkan mentoring untuk anggotanya. Tapi juga HTI (sekarang sudah menjadi organisasi terlarang), jama'ah tabligh, LDII, salafi, Wahdah Islamiyah, dll. Di pesantren klasik NU, sudah lama dikenal istilah halaqoh (mentoring). Dimana sang kyai berkumpul dgn beberapa santrinya membahas kitab kuning tertentu. Kelompok anak-anak muda yg berkumpul sesuai dgn minatnya juga bisa disebut kelompok mentoring untuk mengeksistensikan kelompok tsb. Jadi sekali lagi, mentoring atau liqo' adalah wadah universal yg lintas agama, tempat, waktu dan nilai pembelajaran. Mentoring dikenal memiliki kelebihan dibanding pembelajaran klasik. Sistem mentoring membuat hubungan yang intens dan emosional antara mentor dgn peserta yg jumlahnya terbatas, sehingga arahan bisa lebih cepat mempengaruhi peserta. Saking efektifnya mentoring sampai digunakan juga oleh dunia kejahatan. Kelompok mafia menggunakan sistem sel (mentoring) untuk mengamankan jaringannya. Kelompok kriminal jalanan seperti maling, copet, juga menggunakan "mentoring" untuk melatih kemahiran mereka melakukan kejahatan yg dibimbing oleh yg berpengalaman. Kembali pada pertanyaan diatas, apakah liqo' alias mentoring bisa membuat pesertanya menjadi eksklusif, bahkan radikal? Maka jawabannya adalah tergantung ia ikut mentoring apa. Sebagai wadah, mentoring bisa dibuat "sekehendak" pendiri/penggagasnya dgn cara membuat konten (kurikulum pembelajaran) mentoring. "Warna" mentoring juga sangat tergantung dari nilai-nilai yg dianut mentornya (yang biasanya memegang kendali penuh dalam mentoring). Namun satu hal yg disepakati. Bahwa mentoring (berdasarkan lintasan fenomena di atas) memang diakui sebagai wadah pembelajaran yg efektif untuk menanamkan dan menyebarluaskan nilai-nilai tertentu (kaderisasi). Sebagai pemerhati mentoring (saya membuat tiga buku yg khusus membahas mentoring), saya merasa bersyukur bahwa saat ini mentoring sebagai wadah yg efektif untuk pembelajaran semakin meluas penerapannya, bahkan sampai ke kantor-kantor pemerintah dan swasta. Semoga dengan semakin meluasnya mentoring atau liqo' yang baik, maka diharapkan pembangunan SDM di Indonesia semakin maju dan berkualitas. Sebab dari mentoring akan lahir orang-orang yang memiliki nilai-nilai spiritualitas, integritas, profesionalitas dan inklusifitas yang tinggi untuk membangun kejayaan Indonesia. Note : Jika sahabat ingin ikut mentoring, carilah mentoring atau liqo' yang baik, yang tidak mengajarkan ekslusifitas dan radikalisme. #R
Langganan:
Komentar (Atom)