Rabu, 06 Maret 2019

KEPAHLAWANAN YANG HILANG



Dilan adalah fenomenal sekaligus memprihatinkan. Walau Dilan tokoh fiktif, tapi copiannya berupa remaja absurd yang tahunya hanya cinta dan hedon lahir dimana-mana. Dilan adalah potret remaja milenial yang miskin cita-cita besar.

Tak sebanding dengan Muhammad Al Fatih, seorang pemuda bergelimang harta yang dari lahir sudah digembleng untuk jadi pahlawan. Yang dipikirkannya bagaimana membebaskan bangsa-bangsa dengan menaklukan kecongkakan Romawi Timur sang penjajah adidaya di jamannya.

Kelak di usia 23 tahun, Sultan Muhammad al Fatih memimpin 250 ribu pasukan dan mengepung benteng Konstatinopel berbulan-bulan sampai akhirnya berhasil menaklukannya. Kisahnya heroik dan melegenda dari masa ke masa.

Didikan Islam yang benar mampu melahirkan pahlawan seperti Muhammad al Fatih. Juga  Sholahuddin al Ayyubi, Thariq bin Jiyad, Musa bin Nushair, dll. Melahirkan ulama seperti Imam Syafi'i, Hambali, Hanafi, Maliki, yang sejak remaja sudah berpikir luas mendunia (istilah sekarangnya negarawan) sebagai seorang faqih. Juga melahirkan tokoh ilmuwan, seperti ibnu Sina, al Khawarizmi, ibnu Khaldun, ibnu Haitham, Umar Khayyam, dll.

Mereka adalah contoh kecil orang hebat dari sebuah masyarakat maju Islami yang mampu memimpin dunia selama kurang lebih 1400 tahun (mulai dari hijrahnya Nabi tahun 622 M sampai runtuhnya Khilafah Turki Utsmani 1924 M). Walau bersilih ganti kekhalifahannya, tapi umat Islam terus memimpin  dunia. Eropa dan Amerika waktu itu masih dalam keterbelakangan.

Mereka membuktikan janji Allah dari surat ali Imron ayat  101: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)

Namun itu dulu, ketika pendidikan dan media masih Islami, sehingga lingkungan juga Islami. Sekarang beda, pendidikan dan media lebih cenderung melahirkan generasi Dilan, yang hobinya pacaran, tawuran, ngegames, dan pindah dari satu hedon ke hedon lain. Bangga, tertawa dan menangisnya karena si doi, bukan karena bangsanya maju atau dijajah bangsa lain.

Satu contoh saja, makin banyak remaja saat ini yang terjerumus perbuatan zina. Sebuah studi tentang perilaku seks
remaja memperoleh hasil sekitar 25% – 51%
remaja telah berhubungan seks pranikah (Utomo ID, McDonald P. Adolescent reproductive health in Indonesia:
contested values and policy inaction. Studies in Family Planning Journal.
2009; 40 (2): 133-46).

Adakah yang salah dalam cara kita mendidik remaja? Mengapa banyak remaja Indonesia yang terlambat untuk dewasa? Sehingga sikapnya tidak bertanggung jawab dan kurang mandiri?

Semua ini berawal dari kesalahan paradigma bahwa ada fase remaja dalam kehidupan setiap orang. Padahal sebenarnya tidak ada fase "Dilan" itu. Itu hanya akal-akalan atas nama ilmu (psikologi) yg diciptakan para penjajah agar pemuda di negara jajahannya lambat dewasa. Tetap membeo dan tidak kritis.

Padahal fitrahnya tidak ada fase remaja itu. Fase yang mentolerir adanya kegalauan dan pubertas, sehingga lingkungan harus maklum jika remaja berbuat salah. Tidak boleh dihukum dan diberikan sangsi sosial.

Yang ada sebenarnya hanya fase anak, pemuda dan dewasa. Fase anak dimulai semenjak lahir sampai akil baligh. Fase pemuda dimulai dari aqil baligh (haid/mimpi basah pertama kali, kisaran usia 12-15 tahun) sampai usia 25 tahun. Dan dewasa di usia 25 tahun ke atas. Pada fase pemuda, setiap orang sudah dituntut untuk bersikap dewasa. Juga boleh menikah dan mencari nafkah sebagai ciri kedewasaan seseorang.

Pendidikan "modern" di Indonesia yang terpengaruh westernisasi lalu memasukkan fase remaja sebagai fase transisi. Dimana sang remaja boleh labil dan belum dianggap cukup akalnya. Masih perlu dilindungi oleh undang-undang (perlindungan anak), sehingga jika sang remaja bermaksiat atau melakukan tindakan kriminal belum boleh dihukum atas nama HAM yg keblinger.

Hasil dari pendidikan dan budaya yg mentolerir fase remaja ini akhirnya memunculkan banyak remaja yang cengeng, manja, egois, cuek, dan kurang ajar (tidak tahu sopan santun). Kasus pemukulan guru di berbagai tempat membuktikan bahwa remaja Indonesia tumbuh kurang dewasa.

Diam-diam, negara maju pun juga sudah mengkoreksi cara mereka mendidik remaja. Kurikulum pendidikan mereka sudah bergeser meniru pendidikan (Islam) yang tidak mengenal fase remaja. Pendidikan vokasi sudah diajarkan sejak SMP di Jepang. Sekolah di Inggris lebih banyak menekankan manner (soft competency). Di Korsel, pendidikan menekankan sikap kesatria dan kejujuran. Di Finlandia, jam sekolah dibatasi dan tidak ada PR agar anak lebih banyak terjun dalam kehidupan nyata.

Sedang di Indonesia yang masyarakatnya masih kesengsem dengan apa saja yg datang dari Barat malah ketinggalan jaman. Teori pendidikan yang dipakai oleh banyak pendidik malah mazhab yang memanjakan remaja. Melindungi anak dari kesalahan yang dilakukan remaja atas nama HAM anak. Yang justru sudah disadari kekeliruannya oleh para pendidik yang kritis di Barat sana.

Sudah saatnya, orang tua dan guru di Indonesia kembali kepada pendidikan yang lebih Islami. Lebih berani mendidik kemandirian kepada anak didik yg sudah akil baligh. Jangan memanjakan remaja. Jangan memaklumi remaja yang kurang ajar dan tidak disiplin. Jangan takut memberikan pendidikan dengan punishment yg tegas (walau reward juga tetap diberikan).

Jangan terpengaruh oleh doktrin pendidikan ramah anak (remaja) yang tak boleh menghukum remaja usia aqil baligh. Selain tidak Islami, juga tidak mendidik adversity quotient (kecerdasan survival) remaja. Jangan melindungi remaja dari "bully" teman-temannya atau media sosial selama itu masih wajar, agar mentalnya kuat berlapis baja. Jangan takut jiwa remaja akan terluka jika mereka diberikan sangsi sosial karena perbuatan salah mereka. Pendek kata, jangan terpengaruh dengan teori pendidikan sok modern yg berlindung atas nama HAM, demokrasi atau nama nyeleneh lainnya, tapi ujungnya hanya memanjakan remaja. Membuat remaja menjadi generasi Dilan yang cengeng, pengecut dan labil serta tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

Setiap remaja seharusnya sudah menjadi pemuda dengan karakter dewasa setelah akil baligh. Itulah sebabnya mereka diberikan dosa jika salah dan pahala jika benar oleh Allah swt, sebagai tanda mereka harus sudah mandiri dan bertanggung jawab.

Wahai pemuda pahlawan umat dan bangsa...!
Terbanglah ke angkasa yang tinggi
Jangan sibuk mengais pernik-pernik dunia
Sebab bukan untuk itu engkau diciptakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar