Jumat, 25 Februari 2022

BOLEHKAH KDRT DALAM ISLAM?

 By. Satria hadi lubis


Cerita seorang ustadzah tentang ada seorang istri di masa lalu yang dipukul suaminya, lalu ia menutupi perbuatan suaminya ketika orang tuanya datang menjadi viral di media sosial.


Banyak yang mengecam cerita tersebut. Alasannya, tidak boleh seorang istri menutupi perbuatan suaminya yang melakukan KDRT.


Pertanyaannya bolehkah seorang suami memukul istrinya dalam Islam? Jawabannya, boleh dengan syarat tertentu. Dalilnya sebagai berikut : 


"...Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" (Qs. 4 ayat 34). 


Dari ayat di atas, tugas pertama yang dilakukan suami saat istri melakukan nusyuz (membanhkang/tidak taat) adalah menasihatinya. Namun, jika nasihat itu diabaikan, maka suami boleh melakukan pisah ranjang dengan tujuan agar istri menyadari kesalahan yang dilakukan. Jika pisah ranjang juga diabaikan, maka suami boleh memukul istrinya.


Jadi memukul istri adalah jalan terakhir yang diperbolehkan dalam Islam saat istri melakukan nusyuz, dalam rangka memberi peringatan terakhir (setelah itu boleh jatuh thalaq). Namun pukulan yang diberikan adalah pukulan yang tidak membahayakan bagian tubuh yang vital, tidak pula memukul wajah, tidak berbekas, tidak membuat cacat, apalagi mematikan.


"Di antara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah" (Hadits sahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180 no 2128), Ibnu Majah (I/593 no 1850), dan Ahmad (IV/447), dari Mu’awiyah bin Hairah RA).


Namun perlu diingat, bahwa Nabi Muhammad saw seumur hidupnya tidak pernah memukul istri-istrinya.


Lalu bagaimana kedudukan KDRT dalam Islam?


Jika yang dimaksud KDRT tersebut seperti diatas, maka hal tersebut dibolehkan. 


Namun jika yang dimaksud KDRT dalam istilah modern saat ini, yakni melakukan kekerasan kepada pasangan secara berulang dan/atau melampaui batas, maka jelas Islam juga melarangnya (mengharamkannya). 


Saya bersangka baik bahwa ustadzah tersebut bercerita dalam konteks memukul yang diperbolehkan dalam Islam. Bukan dalam konteks membenarkan bolehnya KDRT, dalam pengertian  kebiasaan suami memukul istrinya secara melampaui batas dan/atau berulang-ulang.


Bahkan para ulama membolehkan seorang istri menggugat cerai (khulu') suaminya jika ia sering mengalami KDRT, yang dikuatirkan bisa membahayakan keselamatan nyawanya. Sungguh, suatu kebodohan jika ada seorang istri yang pasrah di KDRT terus menerus, serta tidak menggugat cerai suaminya.


Lalu, jika ada orang-orang tertentu yang tak setuju dengan ayat al Qur'an di atas, yang membolehkan suami memukul istrinya dengan syarat tertentu, maka itu urusan pribadi mereka. Mungkin mereka berpendapat sesuai dengan akalnya yang terbatas.


Sebagai muslim, tentu kita akan mendahulukan hukum Islam yang penuh hikmah daripada pendapat  akal yang terbatas oleh ruang dan waktu. Pendapat akal semacam ini sering dibawa oleh sebagian kaum feminis, liberal, atau orang-orang yang suka menjelek-jelekkan Islam (kaum Islamophobia).


Kita melihat sekarang ini ada upaya gencar dari kelompok Islamophobia untuk mencemarkan nama baik ustadz dan utadzah, habaib dan para ulama, sehingga sedikit saja ada peluang untuk menjelekkan para da'i, mereka goreng sedemikian rupa supaya viral. Tujuannya, merusak citra baik para da'i.


Dengan rusaknya nama para da'i, diharapkan orang-orang Islam yang awam tidak lagi percaya dan tidak lagi mau belajar Islam dari para da'i, sehingga mayoritas orang Islam akan makin bodoh terhadap ajaran Islam itu sendiri.


Allah telah memperingatkan cara kerja kelompok Islamophobia tersebut, sehingga sudah sewajarnya kita jeli dan waspada dengan tipu daya mereka. 


 يُرِيدُونَ لِيُطۡفِـُٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ 


"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang musyrik membencinya" (Qs. As Shaff ayat 8).

COBALAH MENGERTI (Versi Suami Isteri)



Cobalah mengerti….

Bahwa tujuan pernikahan yang utama bukan untuk mendapatkan keturunan dan kesenangan, tapi untuk menyempurnakan ibadah kepada Allah SWT. Jangan sampai tujuan utama ini terpinggirkan karena terjebak rutinitas mengurus keluarga. Oleh karena itu, kesibukan utama suami isteri adalah menegakkan tauhid dan berdakwah kepada anggota keluarganya. 

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;

penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Qs. 66 ayat 6).


Cobalah mengerti…

Bahwa misi pernikahan adalah keselamatan seluruh anggota keluarga di dunia dan akhirat. Jangan sampai ada salah satu anggota keluarga yang selamat di dunia, tapi hancur di akhirat (masuk neraka). Oleh karena itu, kita perlu rutin menasehati  tentang pentingnya misi ini pada anggota keluarga kita. Kesedihan terbesar yang dapat dibayangkan sejak sekarang adalah ketika suami, isteri atau anak-anak kita ada yang tak bisa berkumpul di akhirat kelak. 

“(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya” (Qs. 13 ayat 23).


Cobalah mengerti…

Bahwa kebanggaan suami isteri bukan karena mendapatkan harta, gelar, jabatan atau ketenaran, tetapi karena kesholihan anggota keluarganya. Belajarlah dari kisah Nabi Ya’qub as yang menangis sampai matanya buta karena kedurhakaan anak-anaknya yang membuang Nabi Yusuf as. Walau akhirnya anak-anaknya bertaubat dan beliau dapat berkumpul kembali dengan anaknya, Nabi Yusuf as, beliau tetap mewasiatkan kesholihan ini di akhir hidupnya. 

“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya” (Qs. 2 ayat 133).

Cobalah mengerti…

Setiap keluarga punya tawa dan tangisnya masing-masing. Jangan pernah tergoda membandingkan keluarga kita dengan keluarga orang lain, yang menyebabkan kita tergoda menceraikan pasangan. Jangan kalah dengan tipu daya setan yang senang dengan makin banyaknya perceraian. Rawatlah apa yang sudah ada, yang sudah ditakdirkan Allah kepada kita. Yakinlah…bahwa setiap keluarga pasti akan diuji dari arah yang berbeda-beda. Yakinlah…jika kita bersabar dan lulus dari ujian berkeluarga maka pahalanya amat besar. 

“Wahai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (Qs. 3 ayat 200). 

Cobalah mengerti….

Bahwa Allah SWT memberikan cinta sejati kepada suami isteri ketika mereka sudah saling menerima kekurangan pasangannya (bukan berarti suami isteri berhenti untuk berubah makin baik). Ketahuilah…cinta sejati adalah cinta saling memberi, bukan saling menuntut. Cinta sejati adalah bahagia ketika pasangan kita bahagia. Langgeng dan menua bersama. Visualisasinya seperti kakek nenek yang berjalan dengan saling menuntun di masa tuanya. Bayangkan itu adalah kita dengan pasangan kita. Bukankah itu indah dan menjadi kenangan manis sampai di alam kubur? Untuk rindu bertemu kembali di surga kelak?

"Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (Qs. 25 ayat 74). 

KESIBUKAN UTAMA KELUARGA

 

By. Satria hadi lubis 


Keluarga bahagia adalah keluarga yg kesibukan utamanya menyelesaikan masalah besar, bukan sebaliknya. Masalah besar dalam keluarga adalah tegak atau tidaknya tauhid di dalam rumah tangga. Tegak atau tidaknya hukum Allah di dalam keluarga, sehingga sebagian besar waktu aktivitas anggota keluarga dicurahkan untuk dakwah dan ibadah, bukan untuk yg lainnya. Itulah keluarga bahagia Nabi saw. Bahkan beliau saw, walau rumahnya kecil dan sederhana, dgn bangga berkata, "baiti janatii" (rumahku surgaku).


Sebaliknya saat ini, banyak keluarga yg justru sibuknya dgn masalah kecil. Mereka bahkan mudah bercerai hanya gara-gara masalah kecil yg tak ada hubungannya dgn tauhid. Misalnya, bercerai karena masalah ekonomi, karakter, cara komunikasi, nafkah lahiriah, dll, yang kecil-kecil. Padahal syariat Islam mempermudah pernikahan dan mempersulit perceraian. Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra pernah marah kepada sahabatnya yg minta cerai hanya gara-gara tdk lagi mencintai pasangannya. Karena bagi Umar itu masalah kecil. Yang besar itu masalah TAUHID. Ketika Rasulullah saw pulang dan di rumahnya tidak ada makanan, beliau dgn mudah memaafkan istrinya. Karena bagi Rasulullah yang besar itu masalah TAUHID. Ketika nabi Yaqub as sakaratul maut, yg dikuatirkan untuk anak-anaknya bukan masalah materi, tapi masalah tauhid (lihat Al Quran ayat 133). Karena bagi Yaqub as yg besar itu masalah TAUHID. 


Ciri lainnya dari keluarga yg sibuk dgn masalah kecil adalah mereka lebih sibuk mencari uang atau aktualisasi keduniaan lainnya daripada aktivitas dakwah dan ibadah. Sedih dan bahagianya keluarga bukan karena tegak atau tidaknya tauhid, tapi karena yg lainnya. Pikiran, waktu, tenaga, dan perasaan anggota keluarga habis tercurah untuk berbagai pernik dunia. Momen-momen bahagia menurut keluarga tersebut adalah momen rekreasi dan berbangga dengan materi serta status sosial. Bukan momen ibadah dan dakwah yang mereka lakukan.  


Pada saat ini kita melihat bahwa tingkat perceraian meningkat dimana-mana. Sebagai contoh, di depok pada tahun 2014 terjadi 2900 lebih perceraian. Berarti dalam sebulan terjadi sekitar 241 perceraian. Dan dalam sehari berarti terjadi kurang lebih 8 kali perceraian! Sebagian besar perceraian di jaman sekarang ini disebabkan masalah-masalah kecil yang tidak ada hubungannya dengan Tauhid. Sebaiknya bukan karena masalah kecil seorang muslim bercerai atau bertengkar dengan pasangannya. Selain menunjukkan ketidakdewasaan emosi, tapi juga kesalahan prioritas yang membuang energi dan waktu. Islam adalah agama yang mempermudah perkawinan dan mempersulit perceraian. Bukan seperti yang kita lihat sekarang ini. Begitu mudah orang bercerai, tapi begitu sulit orang untuk menikah.  Pantas jika keluarga-keluarga masa kini tidak berani mengklaim keluarganya sebagai "baiti jannati", tapi mungkin malah "baiti naarii " (keluargaku nerakaku). Alhasil, berkah menjadi jauh dan duka menjadi dekat.


Oleh sebab itu, mari kita menjadi suami dan isteri yang tahu skala prioritas. Tidak meributkan masalah kecil dalam rumah tangga kita. Bersedia bersabar atas kekurangan pasangan kita. Toleransi terhadap kesalahan yang tidak prinsip. Sebab no body perfect. Selain membuat rumah tangga kita langgeng karena kita tidak meributkan masalah-masalah kecil, tapi juga mengurangi beban mental kita. Tidak sedikit-sedikit stress atau sakit hati akibat melihat kekurangan pasangan kita. Sebab berumah tangga adalah kesabaran (yang berlipat ganda). Sebab kebahagiaan hanya didapat oleh orang yang mampu bersabar.

TERUS BERGERAK ATAU TERLINDAS!



By. Satria hadi lubis 


Seorang kader dakwah harus pandai mengelola kekecewaan agar tidak futur (lemah semangat) dari jalan yg penuh berkah ini.


Caranya dengan :

1. Memelihara keikhlasan, 

Dengan ikhlas kita tidak akan peduli dengan godaan merasa dipinggirkan atau tidak dihargai. Ingatlah, cukup ridho Allah sebagai satu-satunya harapan kita. Yang lainnya hanya bonus, dapat alhamdulillah. Tidak dapat juga alhamdulillah.

2. Sibuk dengan hal-hal besar, 

Biasanya yang sering kecewa itu kader yang sibuk dengan masalah kecil dan duniawi, sehingga suka meng-ghibah. Kalau kita sibuk berdakwah tak sempat lagi kita membesar-besarkan kekurangan ikhwah lain.

3. Empati dengan ikhwah lain, 

Dengan peduli kepada ikhwah lain, dan turut merasakan kesulitan-kesulitan mereka dalam mengelola dakwah maka kita tidak akan mudah menuduh mereka dengan berbagai fitnah.

4. Waspada terhadap fitnah yang menjelek-jelekkan dakwah dan para aktivisnya, 

Ingatlah, salah satu cara melemahkan dakwah adalah memecah belah barisan dakwah. Islam hanya bisa dirubuhkan dengan lemahnya persatuan dan ukhuwah.

5. Terus aktif pada berkiprah pada potensinya,

Daripada terus menerus memendam kekecewaan lebih baik kita terus berkiprah secara produktif. Misalnya dengan terus merekrut dan membina. Sebab hal itulah kewajiban azazi kader dakwah. 

6. Dan ekspresikan kekecewaan dengan tepat, yaitu kepada murobbi atau ustadz yang paham manhaj dakwah. Jangan mudah percaya berita-berita negatif tentang ikhwah lain yang bisa menghancurkan soliditas barisan. Cek and ricek dari berbagai sumber. Bukan hanya butuh second opinion jika mendengar berita negatif, tapi juga third opinion, bahkan fourth, fivth opinion.


Jangan futur hanya gara-gara kecewa. Toh yang rugi bukan siapa-siapa, tapi diri sendiri yang nanti tak mampu menjawab hisab di akhirat karena meninggalkan medan dakwah.


Yakinlah, bahwa salah satu yang dihisab kelak kepada setiap muslim adalah kewajibannya dalam berdakwah. 


يَٰبُنَيَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ


"Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar (dakwah) dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang diwajibkan kepadamu" (QS. Luqman (31) : 17).


Lagi pula, seandainya seorang kader dakwah futur,  maka Allah pasti akan mendatangkan orang-orang yang jauh lebih baik dan lebih tangguh daripada sebelumnya.


Allah berfirman,


وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ


“Dan jika kalian berpaling, niscaya Dia akan mengganti kalian dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kalian ini. ” 

(QS. Muhammad (47) : 38)


Allah juga berfirman,


إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِآخَرِينَ


“Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kalian, wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain sebagai pengganti kalian. ” 

(QS. An-Nisa (4) : 133)


إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ. وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ


“Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kalian dan mengganti kalian dengan makhluk yang baru, dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.” 

(QS. Ibrahim (14) : 19-20).


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.


“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. ”

(QS. Al-Maidah (5) : 54)


Semoga Allah istiqomahkan kita di atas Islam dan dakwah.


Terus bergerak atau akan terlindas!

SAMPAI KAPAN SINGLE PARENT?

 

Single parent adalah orang yang tidak memiliki suami atau istri dan hidup dengan satu atau beberapa anak. Terdapat berbagai alasan mengapa seseorang menjadi orang tua tunggal, seperti bercerai, ditinggal pasangan, atau kematian pasangan.


Dalam berbagai kesempatan, saya menemui beberapa single parent yang kekeh tidak mau menikah lagi dengan berbagai alasan, antara lain : sibuk mengurus anak, sudah cinta mati dan tak bisa lagi ke lain hati, terlanjur sakit hati dan tidak percaya lagi dengan lawan jenis, sudah merasa tua dan malu untuk menikah lagi.


Padahal menjadi single parent lebih banyak ruginya daripada untungnya, antara lain : 


1. Perzinahan.

Sebagai manusia normal, tentu single parent juga memiliki kebutuhan seksual. Berlama-lama menjadi single parent, maka peluang untuk berzina juga  semakin besar. Mulai dari zina hati sampai ke zina kelamin. Memang single parent yang sudah berumur makin menurun hasrat seksualnya, tapi sesekali juga tetap membutuhkan penyaluran seksual. Bayangkan, betapa banyak dosa zina yang akan didapat jika seseorang tidak bisa menyalurkan kebutuhan seksualnya sesuai syariah. 


2. Kesepian.

Sebagai manusia normal, tentu kita juga pernah kesepian. Yang punya pasangan dan anak banyak saja masih bisa kesepian, apalagi yang single parent. Memang ada banyak cara bagi single parent untuk membunuh kesepiannya, namun cara yang paling efektif adalah mempunyai pasangan lagi, sehingga ada teman curhat yang menemani sampai ajal tiba. 


3. Lambat dewasa.

Mereka yang berlama-lama sendirian, termasuk kaum jomblo yang tidak mau menikah,  biasanya kurang dewasa. Ciri orang yang kepribadiannya kurang dewasa itu diantaranya; egois, tidak mau bertanggung jawab, me time-nya kelamaan, menghindari resiko, kurang peduli, cepat berburuk sangka, kurang rasional, dan lain-lain. Bagi single parent yang yang tidak mau menikah lagi karena merasa sudah cinta mati dengan pasangannya terdahulu menunjukkan ketidakdewasaannya dalam menata hati. Apalagi jika ditinjau dari syariah Islam, yang mengajarkan kita hanya boleh cinta mati kepada Allah SWT, Zat yang kekal dan Maha Pengasih. Sedang dengan sesama manusia cintanya harus wajar dan haris dibawah cinta kita kepada Allah SWT. 


4. Sedikit yang mendoakan dan membantu.

Jika single parent menikah lagi, ada peluang untuk mendapatkan anak lagi dari pasangan barunya. Semakin banyak anak, maka semakin banyak peluang untuk didoakan oleh anak-anak kita. Semakin besar juga peluang untuk dibantu oleh anak-anak kita di masa tua. Hal ini menguntungkan dari sisi duniawi dan ukhrowi.


5. Ibadah menjadi tak sempurna

Rasulullah saw. bersabda, “Menikah itu termasuk dari sunnahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas umat-umat yang lainnya, siapa yang mempunyai kekayaan, maka menikahlah, dan siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu tameng baginya” (HR. Ibnu Majah).


Dengan segera menikah, seorang single parent bisa melaksanakan ibadah dan mengikuti sunah Nabi saw. Sebaliknya menunda menikah, mempersulit penyempurnaan ibadah. Tidak ada pasangan yang mengingatkan dan membersamai kita dalam ibadah untuk. Makanya ada istilah "annikahu nisfuddin" (nikah itu setengah dari ibadah).


Melihat berbagai dampak negatif dari berlama-lama menjadi single parent itu, maka sebaiknya para single parent segeralah menikah lagi. Jangan berlama-lama tenggelam dalam kesedihan dan trauma. Jangan terjebak dengan kenangan manis di masa lalu, sehingga tidak bisa move on. The show must go on! Hidup terus berlalu dan masa depan adalah  satu-satunya harapan untuk hidup yang lebih baik.


Bagi para single parent yang yang sudah berusaha sambil berdoa untuk bisa menikah lagi, saya doakan semoga segera terwujud keinginannya. Semoga mendapat pasangan hidup yang sholih/sholihah dan bisa saling membimbing untuk bergandengan tangan menuju surga Allah SWT

MENGENANG USTADZ AL WASITH


By. Satria hadi lubis 


Dari sekian banyak sahabat dakwah saya, Ustadz H. Wasito Al Wasith, S.Ag, adalah salah satu yang menonjol. Beliau meninggal dunia hari Sabtu, tanggal 12 Febuari 2022 yang lalu. 


Banyak kenangan manis saya bersama beliau. Beliau saya kenal sekitar 30 tahun yang lalu dalam berbagai forum dakwah, terutama di Jakarta Barat.


Sejak mengenal beliau, kami sering melakukan aktivitas bersama. Saling melingkar bersama, saling  memberikan nasehat, saling curhat, saling tukar menukar binaan, saling canda dan saling silaturahim. Pernah juga membuat lembaga dakwah bersama, walau hanya sebentar. 


Karena beliau lebih tua 4 tahun dari saya, saya juga menganggap beliau sebagai guru saya yang lebih banyak pengalaman dan ilmunya. 


Terakhir, saya ketemu beliau di rumahnya sehabis lebaran tahun 2021 yang lalu. Kami saling melepas kangen setelah sekian lama tak bertemu, saling curhat seperti biasanya. Waktu itu saya lihat memang kesehatannya sudah mulai menurun, namun beliau tetap semangat cerita apa saja tentang dakwah.


Yang saya lihat dari diri beliau sejak dulu itu adalah sifatnya yang bersahaja (low profile), tidak suka kemewahan, mudah akrab dengan orang lain, rajin silaturahim kepada siapa saja tanpa melihat kelompoknya dari mana, tak pernah melupakan teman lama, tak pernah memandang rendah orang lain, mau menyapa duluan, berani menasehati orang lain tanpa sungkan,  jujur, tidak suka kemunafikan, hormat kepada guru-gurunya, tidak suka ketenaran, dan suka menolong, serta perhatian terhadap orang lain.


Sifat yang menurut saya merupakan sifat ideal dari seorang da'i. Kiprahnya terhadap dakwah jangan ditanya lagi. Beliau rajin berceramah dan membina. Murid-muridnya tersebar dimana-mana, yang juga bisa menjadi saksi tentang semangat dan kebaikan beliau di dalam dakwah.


Kini beliau telah pergi. Semangat, teladan dan kebaikan beliau tak akan terlupakan bagi saya dan --insya Allah-- menular juga kepada anak-anak dan murid-murid beliau.


Bagi saya, beliau adalah sahabat sejati. Sebab sebaik-baiknya teman atau sahabat adalah yang mengingatkan kita tentang amal sholih dan negeri akhirat. Itulah yang saya lihat dari sosok Ustadz Al Wasith rahimahullah.


Selamat jalan sahabatku. Semoga Allah melapangkan kuburmu, mengampuni dosa-dosamu, dan membalas kebaikanmu dengan surga firdaus. 


Kelak di akhirat, semoga kita bisa bertemu lagi. Untuk melanjutkan persahabatan kita. Untuk bercengkrama tentang kenangan manis dakwah kita. 


Jika saya tak masuk surga, tolong beri saya syafa’atmu agar saya bisa masuk surga menemanimu. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu anhu. 


Ya Allah....aku bersaksi bahwa engkau adalah mujahid di jalan Allah. Keberkahan untukmu di dunia dan akhirat 

PEREMPUAN-PEREMPUAN BERHATI BAJA

 


By. Satria hadi lubis 


SUATU saat saya bertanya kepada istri, "Gimana kondisi ummi di penjara?" Istri saya, Ustadzah Kingkin Anida, menjawab berseloroh, "Anggap aja di Mina bi ....namun waktunya lebih lama hehe...".


Saya tersenyum getir mendengar jawabannya. Bagi yang belum tahu, Mina adalah tempat menginap sehabis jama'ah haji wukuf di Arafah. Di Mina, kondisi tidurnya berdesak-desakkan di tenda, nyaris tanpa jarak. Wajib dilakukan oleh jama'ah haji selama 2 atau 3 malam. Saya dan istri mengalami hal tersebut ketika naik haji bersama tahun 2017 yang lalu.


Begitulah kondisi tidur istri saya di penjara saat ini, berada di sel tahanan yang penghuninya 12 orang di ruangan seluas kira-kira 4x3 meter persegi. Dua puluh empat jam tumplek disitu-situ aja. Makan, minum, tidur, sholat dan buang air. Tidak melihat sinar matahari sama sekali, kecuali kalau keluar rutan karena mengikuti persidangan. Tidur beralaskan triplek dan sajadah, karena kasur tipis juga tidak boleh masuk. Jatah makan pun hanya 2x sehari, kecuali kalau beli sendiri. 


Saya membayangkan, jika hal tersebut terjadi kepada saya mampukah saya menjalaninya? Terus terang, saya belum tentu sanggup menjalaninya. Namun istri saya sanggup dan mampu bertahan selama ini. Tetap tenang, tetap ibadah dan tetap berdakwah seperti yang biasa beliau lakukan selama ini. Sudah hampir lima bulan beliau di dalam penjara karena kasus ITE bernuansa politik. 


Tentu apa yang dialami beliau menjadi beban pikiran bagi saya, sehingga kadang saya sulit tidur. Sedih dan kasihan membayangkan kondisi istri di penjara. Ini juga yang mungkin dialami oleh banyak keluarga ketika salah satu anggota keluarganya, entah anak atau suami/istrinya, sedang di penjara. 


Namun ada teman saya yang pernah di penjara bilang begini, "Jangan terlalu sedih ustadz, orang yang di penjara itu lama-lama kuat mentalnya. Bahkan lebih kuat daripada mereka yang berada di luar penjara (yakni keluarganya). Ustadz yang perlu lebih menjaga kesehatan. Istri ustadz insya Allah kuat disana". 


Mungkin apa yang dikatakan teman saya itu ada benarnya. Bisa jadi orang yang menjalani kehidupan yang sulit lebih kuat mentalnya daripada mereka yang tidak mengalaminya.


Sebab manusia, secara induvidu atau kelompok, memang dibekali oleh Allah SWT kemampuan beradaptasi yang hebat. Sejarah telah membuktikan kemampuan manusia untuk survive dari berbagai bencana, peperangan dan wabah. Termasuk wabah covid 19 yang sedang kita alami saat ini.


Apalagi istri saya seorang perempuan (ya....tentu saja hehe). Biasanya perempuan lebih kuat (mentalnya) daripada lelaki. Itulah sebabnya rata-rata lelaki umurnya lebih pendek daripada perempuan. Itu juga yang mungkin menyebabkan tugas melahirkan diberikan oleh Allah kepada perempuan, karena sakitnya luar biasa. 


Yahh....semoga apa yang saya tulis ini bukan sekedar menghibur diri saja. Tapi memang kenyataannya demikian.   


Menurut saya, lelaki lebih rapuh menjaga kesehatan mentalnya daripada perempuan. Lihat saja di sekeliling kita. Lelaki yang stres lebih banyak daripada perempuan. Memang perempuan lebih banyak mengeluh sebagai katalisator untuk menjaga kesehatan mentalnya. Namun banyak lelaki yang diam dalam stresnya, tahu-tahu berujung pada perilaku yang menyimpang atau penyakit yang kronis. 


Lelaki perlu belajar lebih banyak dari perempuan-perempuan di sekitarnya yang lebih kuat menjalani kesusahan hidupnya. Entah itu ibunya, kakak atau adik perempuannya, atau istrinya. 


Salut saya kepada banyak perempuan berhati baja di luar sana yang mampu menjalani berbagai kesusahan hidupnya. Salut saya kepada istri saya, Ustadzah Kingkin Anida, yang kuat bertahan di dalam sana dengan segala keterbatasannya. Semoga kesabaran kalian dibalas Allah SWT dengan surga seluas langit dan bumi. 

KESHOLIHAN BERJAMA'AH


By. Satria hadi lubis 


Sewaktu saya ceramah tentang keluarga sakinah (bahagia) di Batu Sangkar, Sumatera Barat pekan lalu, ada seorang ibu yang bertanya, perlukah suami isteri sama-sama liqo' (tarbiyah)? Sebab suaminya sudah lama tidak liqo' lagi, tetapi tingkat ibadah dan akhlaqnya baik-baik saja.


Saya menjawab, jika ada seseorang yang dulunya liqo' lalu sekarang tidak liqo' lagi tetapi ibadahnya tetap baik mungkin itu merupakan atsar (bekas) dari hasil didikan tarbiyahnya di masa lalu. Jadi liqo' itu berguna bagi dirinya.


Namun kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya, setelah meninggalkan liqo' turun tingkat ibadah dan akhlaqnya karena jauh dari komunitas dakwah yang saling menasehati. Dan komunitas dakwah tak bisa digantikan oleh komunitas di dunia maya yang interaksinya sangat terbatas.


Lalu saya tambahkan, kita jangan tertipu dengan kesholihan pribadi seseorang. Sebab yang dituntut oleh agama itu ada dua : Kesholihan Pribadi dan Kesholihan Berjama'ah (ikut serta dalam sebuah kelompok/komunitas dakwah tertentu). 


Kesholihan berjama'ah, salah satunya, didapat dengan mengikuti liqo' (pengajian). Dengan hadir dan bertemu rutin kita bisa merancang berbagai program untuk kebaikan masyarakat yang lebih besar dan luas yang tidak bisa kita lakukan jika sendirian. Bisnis saja butuh kelompok agar bisa tumbuh besar, apatah lagi beragama dan berdakwah.


Allah dan Rasul-Nya juga menyuruh kita berjama'ah dan melarang kita meninggalkan jama'ah.


"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.." (Qs. 3 ayat 103).


"Hendaklah kalian berjama'ah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama dengan orang yang sendirian. Dan dengan dua orang itu lebih baik. Barangsiapa ingin masuk ke dalam surga maka hendaklah komitmen kepada jama’ah” (HR At-Tirmidzi).


”Dan saya perintahkan kepadamu lima hal dimana Allah memerintahkan hal tersebut: Mendengar, taat, jihad, hijrah dan jama'ah. Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan jama'ah  sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya kecuali jika ia kembali. Dan barangsiapa yang menyeru dengan seruan Jahiliyah maka termasuk buih Jahannam. Seseorang berkata:” Wahai Rasulullah, walaupun mengerjakan shalat dan puasa. Rasul SAW menjawab:”walaupun shalat dan puasa. Maka serulah dengan seruan Allah yang telah menamakanmu muslimin, mukminin hamba Allah” (HR Ahmad dan at-Turmudzi).


Ada yang berpendapat bahwa dalil berjama'ah di atas hanya wajib untuk jama'ah muslimin  (jama'ah dari seluruh umat Islam saja), yakni ketika nanti ada di dunia kepemimpinan tunggal (khilafah) seperti masa Rasulullah saw dan khalifah setelahnya.


Kalau begitu pemahamannya berarti saat ini kita tidak perlu berjama'ah. Tentu pendapat ini tak masuk akal dan dapat memperlemah upaya mewujudkan ukhuwah dan persatuan umat Islam yang saat ini sedang terpecah belah.


Kaum Islamophobia paling takut dengan persatuan umat Islam, sehingga mereka berupaya memecah belah umat Islam agar lebih suka memikirkan diri sendiri, agar mengejar kesholihan pribadi saja, dan tidak mau berjama'ah. Disebarkan juga propaganda bahwa berjama'ah itu berarti bid'ah, ta'ashub (fanatisme kelompok) bahkan radikal, sehingga orang takut berjama'ah.


Yang benar adalah lengkapi kesholihan pribadi dengan kesholihan berjama'ah. 


Maka carilah komunitas di antara sekian banyak komunitas muslim (jama'ah minal muslimin) yang menurut kita baik, yakni mengajarkan nilai-nilai Islam yang moderat, inklusif dan tidak radikal. Jangan ikuti jama'ah yang menganggap kelompoknya saja yang benar, apalagi sampai mengkafirkan sesama muslim (takfiri), seperti ISIS.  


Sebab kalau kita hanya sholih secara pribadi tanpa punya komunitas (berjama'ah) berarti kita sebenarnya belum menjadi muslim kaffah (utuh) dan belum berjuang untuk Islam secara amal jama'i (bersama-sama). Kita masih egois dan induvidualistik karena hanya memikirkan kesholihan diri sendiri saja. Hal ini tentu berlawanan dengan prinsip Islam sebagai wihdatul ummah (umat yang satu). "Sesungguhnya ini umatmu umat yang satu, dan aku adalah Rabmu, maka sembahlah Aku” (Qs. 21 ayat 92).


Kembali kepada pertanyaan ibu tadi, kesholihan pribadi tidaklah cukup. Setiap muslim juga harus memiliki kesholihan berjama'ah, untuk kebaikan dirinya, umat dan masyarakat luas. Disinilah pentingnya liqo' sebagai sarana untuk berjama'ah itu sendiri. 


Renungkanlah..!

Jika kita cukup hanya sholih secara pribadi saja, lalu apa gunanya ibadah-ibadah yang mengingatkan kita tentang makna berjama'ah, seperti sholat berjama'ah di mesjid, ritual haji, bahkan zakat dan infaq sekalipun?


Bukankah serigala hanya akan menerkam domba yang sendirian?

PENTINGNYA KEAKRABAN

 

By. Satria Hadi Lubis


MENGAPA ada suami isteri yang sama-sama baik tapi akhirnya bercerai? Mengapa ada anak sholih yang terjerumus narkoba? Ada tetangga yang tidak menolong kita? Ada teman yang berburuk sangka dan menjelek-jelekkan kita?


Semuanya itu disebabkan karena KETIDAKAKRABAN.


Sadar atau tidak, ketika kita melakukan hubungan dengan orang lain ada dua variabel yang menjadi penentu kualitas hubungan, yaitu keakraban dan harapan.


Jika kita akrab dengan si A, dan sesuai dengan harapan/keinginan A, maka A akan suka dengan kita. Membela dan menjaga perasaan kita.


Jika kita akrab dengan si A, walau tidak sesuai harapan/keinginan A, maka A masih suka dengan kita. Bahkan tetap membela dan menjaga perasaan kita.


Jika kita tidak akrab dengan si A, tapi masih sesuai dengan harapan/keinginan A, maka A mungkin menyukai (mengidolakan) kita, namun hubungan kita dengan si A tidak timbal balik. A belum tentu mau memenuhi harapan kita, membela dan menjaga perasaan kita. 


Jika kita tidak akrab dengan si A, dan tidak sesuai dengan harapan A, maka A biasa-biasa saja atau tidak menyukai (membenci) kita.


Dari rumus ini, kita mengetahui betapa pentingnya keakraban dengan orang-orang di sekitar kita atau orang-orang yang kita cintai. Misalnya, dengan pasangan, anak, orang tua, teman, atasan, bawahan, tetangga, dan lain-lain.


Berusahalah akrab dengan orang di sekitar kita. Dengan selalu senyum, salam, sapa dan sopan santun (5S). Dengan sikap menerima, empati, dan menghargai mereka. Dengan kata lain, selalu touch their heart dan hadir secara fisik di sekitar mereka.


Dengan hubungan yang akrab, walau kita kurang sesuai harapan mereka (tidak sama dalam hal keinginan, karakter, hobi, agama, suku, latar belakang, dan lain-lain), niscaya orang lain akan tetap menyukai kita, bahkan membela dan menjaga perasaan kita.


Sebaliknya, ketidakakraban dengan orang-orang disekitar kita atau dengan orang-orang yang kita sayangi dapat berdampak pada munculnya masalah bagi kedua belah pihak.


Ya itu tadi....suami istri yang sama-sama baik tapi akhirnya bercerai, anak sholih dan pintar yang terjerumus narkoba, teman yang berkhianat, binaan yang tidak betah liqo', semua itu karena ketidakakraban hubungan. Padahal dalam close relationship keakraban menjadi sangat penting dan menjadi dambaan setiap pihak. 


Maka bila keakraban itu tidak didapatkan, mereka akan mencarinya dari tempat/orang lain yang belum tentu baik tapi bisa akrab dengan mereka. Itu juga yang bisa menjelaskan mengapa ada pelakor/pebinor berhasil merebut suami/istri orang lain. Mengapa ada orang mau menolong orang yang melakukan kejahatan. Semua itu karena keakraban.


Oleh karena itu, walau kita belum sesuai harapan suami/istri/anak atau siapapun orang di sekitar kita, tetaplah sabar berusaha dekat dan akrab dengan mereka, insya Allah mereka akan tetap menyukai, mencintai dan menjaga perasaan kita. Bahkan dalam jangka panjang mungkin malah memenuhi harapan kita.


"Maka berkat rahmat Allah kepadamu, engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu..." (al Qur'an, surat Ali 'Imran, Ayat 159).


JANGKAR KEMATIAN


By. Satria Hadi Lubis


SEORANG murid yang gundah karena merasa banyak dosa bertanya kepada gurunya, "Wahai guru..aku ingin membuat kuburan kosong di kamarku agar aku mudah mengingat mati, sehingga aku selalu bertaubat. 


Sang guru menjawab: "Kuburanmu yang sebenarnya ada di dalam hatimu dan ia akan lenyap bersamaan dengan kekotoran hatimu. Semakin kotor hatimu semakin susah engkau mengingat mati"


Cerita diatas adalah kegundahan seorang murid yang ingin membuat jangkar (anchor) berupa kuburan agar ia bisa selalu mengingat kematian.


Jangkar (anchor) dalam istilah psikologi klasik adalah suatu stimulus yang memicu reaksi khusus. Anchor dapat berupa benda, situasi, orang, bahkan bunyi-bunyian. Anchor dapat terjadi dengan sendirinya (alami), dapat pula diciptakan secara sengaja. Anchor mengingat kematian bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menyimpan suatu benda yang membuat seseorang ingat akan kematiannya.


Kira-kira lima belas tahun yang lalu, saya pernah membuat jangkar agar saya selalu mengingat kematian saya (lihat foto bawah). Jangkar tersebut berupa nisan bertuliskan nama saya dan saya tanam di tembok kamar kerja saya sampai sekarang. Sengaja diletakkan di dekat pintu agar selalu terlihat oleh saya ketika keluar masuk kamar. 


Jangkar berupa nisan itu dibuat untuk membuat saya selalu mengingat kematian, sehingga giat beramal sholih mengumpulkan pahala dan menjauhi perbuatan dosa. Kelak jika saya meninggal, nisan itulah yang akan menghiasi kuburan saya.


Awal-awal anchor tersebut efektif mengingatkan saya akan kematian, tapi lama kelamaan kurang efektif lagi. Persis seperti yang dikatakan oleh sang guru pada cerita diatas, "Kuburanmu yang sebenarnya ada di dalam hatimu dan ia akan lenyap bersamaan dengan kekotoran hatimu. Semakin kotor hatimu semakin susah engkau mengingat mati"


Dengan kata lain, jangkar kematian itu sebenarnya ada di hati kita masing-masing. Kebersihan hati akan membuat kita lebih mudah mengingat mati dan tidak takut menghadapinya. Sebaliknya, kekotoran hati akan membuat kita menolak mengingat mati dan takut menghadapinya.


Namun menurut saya, tidak salah juga jika jangkar kematian itu berupa benda atau barang yang bisa mengingatkan kita akan kematian, seperti yang saya lakukan atau mungkin dilakukan oleh orang lain. Kisah para sahabat atau ulama yang membuat jangkar kematian bertebaran di kitab-kitab klasik. Saya dulu juga pernah punya teman yang menyimpan kain kafan untuk mengingat kematiannya. 


Namun sebaiknya jangkar kematian berupa benda atau barang tersebut diubah-ubah (diganti) agar tetap efektif menjadi jangkar, sehingga bisa efektif menjadi pengingat hati. 


Bagi sebagian orang, tulisan tentang kematian seperti ini mungkin membuat perasaan yang tidak nyaman. Nasehat kematian memang seperti obat, seringkali membuat kita merasa pahit. Namun dibutuhkan untuk kesehatan jiwa kita.


Bahkan Rasulullah saw sendiri menyebut orang yang sering mengingat kematian sebagai orang yang paling cerdas dan paling mulia di dunia. Logika sebaliknya berarti orang yang jarang mengingat mati adalah orang yang paling bodoh dan hina di dunia. 


Umar ibn Khattab pernah berkata: 


أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عاشرَ عشرةٍ , فقال رجلٌ من الأنصارِ : من أكيَسُ النَّاسِ وأكرمُ النَّاسِ يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : أكثرُهم ذِكرًا للموتِ وأشدُّهم استعدادًا له أولئك هم الأكياسُ ذهبوا بشرفِ الدُّنيا وكرامةِ الآخرةِ .


''Bersama sepuluh orang, aku menemui Nabi SAW lalu salah seorang di antara kami bertanya, 'Siapa orang paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?' Nabi menjawab, 'Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat'' (hadits riwayat Ibnu Majah)

JANGAN SEPELEKAN IMAJINASI

 


Jangan sepelekan imajinasi...

Karena penemuan-penemuan terbesar diawali dari imajinasi.

James Watt membayangkan apa jadinya jika uap yg keluar dari teko yang isinya air mendidih menjadi mesin.

Louis Pasteur membayangkan dirinya sebagai virus ketika menemukan vaksin.

Wright bersaudara membayangkan bisa terbang seperti burung ketika menemukan pesawat terbang


Jangan sepelekan imajinasi...

Karena sebagian isi al Qur'an merangsang pembacanya untuk berimajinasi tentang kenikmatan surga dan pedihnya neraka. Contohnya, "Surga yg dibawahnya mengalir sungai-sungai" atau "neraka yg bahan bakarnya adalah manusia dan batu"


Umar bin Khatab ra menangis tiap malam karena membayangkan pedihnya neraka. Sampai-sampai ia berkata, "Wahai...seandainya Umar hanyalah ilalang", lalu ia menangis lagi sampai sajadahnya basah oleh air mata.


Abdullah bin Mas'ud ra suatu ketika melihat besi panas yang sedang ditempa oleh pengrajin alat perang, lalu ia menangis membayangkan besi panas neraka. 


Abdullah bin Rawahah ra sempat gentar sejenak, tapi akhirnya meluncur deras dalam perang Muktah karena membayangkan disambut bidadari surga jika mati di medan perang. Akhirnya beliau mati syahid dengan kewuliaan surga. 


Khabab bin Arts ra sabar dgn segala siksaan yg diterimanya karena Rasulullah saw pernah berkata : "Dulu sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang disiksa, tubuhnya dikubur kecuali leher ke atas. Lalu diambil sebuah gergaji untuk menggergaji kepalanya, tetapi siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari agamanya. Ada pula yang disikat antar jemput daging dan tulang-tulangnya dengan sikat, juga tidak dapat menggoyahkan keimanannya. Sungguh Allah akan menyempurnakan hal tersebut, hingga setiap pengembara yang bepergian dari Shana’a ke Hadlramaut, tiada tahut kecuali pada Allah Azza wa Jalla."


Membayangkan kenikmatan surga dan kepedihan neraka serta janji kemenangan dari al Qur'an dan hadits Rasulullah saw membuat orang-orang sholih sepanjang zaman termotivasi memperbaiki diri dan menjayakan Islam ke seantero dunia.


Maka jangan sepelekan imajinasi....


Kini sebagian kita terjebak pada kehidupan rutinitas. Takut membayangkan perubahan di masa depan. Tidak percaya diri dengan kekuatan imajinasi. Bahkan seorang atheis seperti Einstein sampai berkata, "Imagination is more important than konwledge".


Jika pun ada yang berimajinasi, maka imajinasinya lebih tentang kesuksesan dunia. Seperti yg diajarkan oleh motivator-motivator sekuler. Yang dibayangkan adalah harta yg banyak, kedudukan yang tinggi dan ketenaran yg didapat. Sedang untuk akhirat minim imajinasi. Untuk surga dan neraka kabur dan sempit cara membayangkannya. Akhirnya, mereka lbh termotivasi dgn kesibukan dunia daripada mencari berkah akhirat.


Mungkin inilah salah satu sebab mengapa umat Islam saat ini tertinggal dibanding umat lainnya. Miskin imajinasi tentang akhirat. Tidak seperti nenek moyangnya, para sahabat ra dan orang sholih di masa lampau yang menjayakan Islam di muka bumi karena termotivasi berkarya mengejar kenikmatan surga dan menjauhi pedihnya neraka. 


Wahai saudaraku...kaum muslimin hanya bisa maju karena motivasi akhirat. Ini sesuai dengan janji Allah swt. 


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوْاْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَـٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلأَْرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَـٰهُمْ بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ 


"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Qs. 7 ayat 96).


By. Satria hadi lubis

KEKUATAN KEBAHAGIAAN (THE POWER OF HAPPINESS)

 


By. Satria Hadi Lubis


Hidup ini hanya sekali dan singkat. Rugi jika kamu tidak bahagia. Rugi juga jika tidak digunakan untuk beramal bagi hidup bahagia kekal di akhirat kelak. Maka sebelum meninggal, hiduplah bahagia dengan menerapkan 5 (lima) kekuatan kebahagiaan ini.


1. The Power of Passion 

Tugas pertama manusia adalah menemukan apa yang paling diinginkan. Itulah talentanya (passion). Tanpa mengerjakan yang paling diinginkan kamu sulit bahagia. Banyak orang yang sekarang ini hidup dalam program orang lain, sehingga kepribadiannya pecah dan tidak bahagia.


Cara mengetahui apa yang kamu inginkan, tanyalah kepada dirimu pertanyaan ini :  Jika umurmu tinggal 3 bulan apa yang ingin kamu lakukan?


2. The Power of Now

Dari dulu orang tua kita bilang, jangan menunda-nunda pekerjaan. Sebab menunda berarti mengundang datangnya masalah dan mengurangi kesempatan. Akhirnya, yang ada tinggal penyesalan.

Untuk tidak menunda, kamu harus berani menanggung resiko. Resiko adalah investasi pembelajaran dan kegagalan adalah jalan yang harus ditempuh menuju sukses. Penyesalan lebih besar karena tidak berbuat daripada berbuat.


Untuk tahu apa yang sering kamu tunda tanya selalu kepada dirimu : Apa yang aku inginkan, tapi aku tunda terus karena takut mengambil resiko?


3. The Power of Love

Jadilah manusia cinta. Bukan manusia yang ingin mencintai dan dicintai, tapi jadilah cinta itu sendiri. Menjadi titisan dari cinta Allah yang Maha Cinta.


Biasanya cinta menjadi sulit jika kamu sibuk dengan ego diri sendiri atau terlalu sibuk melihat kekurangan orang lain. Menerima kekurangan orang lain adalah kebijakan tertinggi.


Untuk menjadi cinta, tanyalah pada dirimu sendiri: "Sudahkah aku memperlakukan orang-orang  disekitarku dengan penuh cinta?"


4. The Power of Force

Hiduplah sepenuh hati. Rahasianya, anggap hari ini hari terakhirmu. Diam, renungkan dan syukuri apa yang ada. Nikmati kondisi sekelilingmu dengan memaksimalkan panca inderamu. Amati pernik-pernik kecil di sekelilingmu. Lihat daun-daun di pepohonan, hirup udara segar, dengarkan desiran angin, eratkan jabat tangan, atau serba-serbi bumbu makanan. Niscaya jika kamu hadir utuh (khusyuk) maka engkau akan bahagia seketika itu juga. Kamu sulit bahagia, jika fisik hadir tapi pikiran entah kemana.


Pertanyaan yang perlu kamu lakukan adakah : Apakah aku hari ini telah hidup sepenuh hati atau sekedar melaluinya?


5. The Power of Giving

Banyak yang menyangka menerima itu membahagiakan. Padahal yang tepat itu menyenangkan. Bahagia --yang levelnya lebih tinggi dari senang-- justru didapat dengan memberi, bukan menerima. Jika kami sedang  tidak bahagia, maka lakukanlah sesuatu untuk orang lain. Niscaya kamu bahagia.


Selalu tanyakan pada dirimu: Apa 3 (tiga) kebaikan yang telah aku lakukan pada hari ini?


Lima THE POWER OF HAPPINESS diatas juga hukum kehidupan. Implemantasikan dan jangan tergoda untuk mengabaikannya. Maka engkau akan bahagia dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

DENGAN SIAPA ENGKAU BERGAUL?

 DENGAN SIAPA ENGKAU BERGAUL?


Keberadaan seorang teman sangatlah mempengaruhi kepribadian, akhlak serta agama seseorang. Ketika seseorang bergaul dengan teman yang berakhlak baik maka niscaya ia akan menjadi sosok yang berakhlak baik. Namun sebaliknya, ketika ia bergaul dengan teman yang berakhlak buruk maka ia pun akan menjadi sosok yang berakhlak buruk pula. Maka dari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita agar selektif dalam memilih teman, khususnya teman dekat atau sahabat karib. Hal itu disebabkan karena agama seseorang itu sangat ditentukan oleh agama teman dekatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ


“(Agama) seseorang itu sesuai dengan agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memperhatikan siapa yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim dan Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 927)


Malik bin Dinar rahimahullah berkata:


وَصَاحِبْ خِيَارَ النَّاسِ تَنْجُ مُسْلِماً – – – – – – وَصَاحِبْ شَـرَّارَ النَّاسِ يَوْماً فَتَنْدَمَا


“Bergaullah dengan orang-orang yang baik, niscaya engkau akan menjadi seorang yang selamat. (Namun) cobalah sehari saja engkau bergaul dengan orang-orang yang jelek, maka niscaya engkau akan menyesal (selamanya).”


‘Adi bin Zaid rahimahullah berkata :


عَنِ الْمَرْءِ لَا تَسْأَل وَاسْأَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ – – – – – – فَـكُلُّ قَــرِيْنٍ بِالْمُقَـارِنِ يَقْتَــدِيْ


إِذَا كُنْتَ فِيْ قَوْمٍ فَصَـاحِبْ خِيَارَهُمْ – – – – – – وَلَا تَصْحَب الْأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِيْ


“Tidak perlu engkau tanyakan (tentang) siapa seseorang itu, namun tanyakanlah siapa teman dekatnya”

“Karena setiap orang itu meniru (tabiat) teman dekatnya”


“Jika engkau ada di suatu kaum, maka bertemanlah dengan orang-orang yang baik diantara mereka”

“Dan janganlah berteman dengan orang-orang yang hina (diantara mereka), niscaya engaku menjadi hina bersamanya.”


Apabila kita banyak bergaul dengan orang-orang baik tentunya banyak manfaat yang akan kita peroleh. Diantaranya adalah kita akan mendapatkan ketentraman hati, karena teman yang baik akan senantiasa memberikan nasihat dan motivasi tatkala masalah, musibah, kegundahan dan kesedihan menimpa diri kita. Mereka juga tidak segan-segan untuk mengingatkan kita ketika kita terjatuh dalam kesalahan. Mereka juga akan mengajarkan kepada kita hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita. Mereka juga akan mengajak kita untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang tentunya akan mendatangkan ridha dan pahala dari Allah Ta’ala.


Seseorang juga bisa diangkat derajatnya lantaran ia bergaul dengan orang-orang yang baik dan shalih. Lihatlah bagaimana seekor anjing milik para pemuda yang shaleh dalam kisah Ashabul Kahfi, anjing tersebut bisa memperoleh derajat mulia (tidak seperti anjing-anjing pada umumnya) karena Allah Ta’ala menyebutnya dalam salah satu ayat suci di dalam Al Quran, Allah Ta’alaberfirman:


وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُم بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ


“Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka menjulurkan kedua lengannya di muka pintu gua.” [QS. al-Kahfi: 18]


Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Berkah yang Allah turunkan kepada para pemuda Ashabul Kahfi pun turut meliputi anjing mereka. Anjing tersebut juga ikut mengalami apa yang dialami oleh para pemuda shaleh tersebut, yaitu ikut tertidur (dalam gua selama bertahun-tahun dalam penjagaan Allah). Hal ini merupakan keutamaan dari bergaul dengan orang-orang yang baik. Dan anjing ini pun akhirnya senantiasa disebut dan dikenang (di dalam Al Quran).” (al-Mishbah al-Munir fi Tahdzibi Tafsir Ibni Katsir, Ismail bin ‘Umar bin Katsir, Dar as-Salam, Riyadh 1421 H, Cetakan kedua halaman 625).


Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً


“Permisalan teman yang baik dengan teman yang buruk adalah ibarat penjual minyak kasturi dan pandai besi. Si penjual minyak kasturi bisa jadi akan memberimu minyaknya tersebut atau engkau bisa membeli darinya, dan kalaupun tidak, maka minimal engkau akan tetap mendapatkan aroma harum darinya. Sedangkan si pandai besi, maka bisa jadi (percikan apinya) akan membakar pakaianmu, kalaupun tidak maka engkau akan tetap mendapatkan bau (asap) yang tidak enak.” (HR. al-Bukhari no. 5534, Muslim no. 2628).


Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan seorang teman yang baik dengan penjual minyak kasturi, dan teman yang buruk dengan tukang pandai besi. Dalam hadits ini juga terdapat keutamaan berteman dengan orang-orang shalih, pelaku kebaikan, orang-orang yang memiliki wibawa, akhlak yang mulia, sifat wara’, ilmu serta adab. Sekaligus juga terdapat larangan untuk bergaul dengan para pelaku kejelekan dan kebid’ahan, serta siapa saja yang suka mengghibah (membicarakan kejelekan orang lain tanpa sepengetahuannya), banyak melakukan keburukan, kebatilan, serta sifat-sifat tercela lainnya.” (Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi, Dar al-Ma’rifah, Beirut 1429 H, Juz 16 halaman 394).