By. Satria hadi lubis
Sewaktu saya ceramah tentang keluarga sakinah (bahagia) di Batu Sangkar, Sumatera Barat pekan lalu, ada seorang ibu yang bertanya, perlukah suami isteri sama-sama liqo' (tarbiyah)? Sebab suaminya sudah lama tidak liqo' lagi, tetapi tingkat ibadah dan akhlaqnya baik-baik saja.
Saya menjawab, jika ada seseorang yang dulunya liqo' lalu sekarang tidak liqo' lagi tetapi ibadahnya tetap baik mungkin itu merupakan atsar (bekas) dari hasil didikan tarbiyahnya di masa lalu. Jadi liqo' itu berguna bagi dirinya.
Namun kebanyakan yang terjadi justru sebaliknya, setelah meninggalkan liqo' turun tingkat ibadah dan akhlaqnya karena jauh dari komunitas dakwah yang saling menasehati. Dan komunitas dakwah tak bisa digantikan oleh komunitas di dunia maya yang interaksinya sangat terbatas.
Lalu saya tambahkan, kita jangan tertipu dengan kesholihan pribadi seseorang. Sebab yang dituntut oleh agama itu ada dua : Kesholihan Pribadi dan Kesholihan Berjama'ah (ikut serta dalam sebuah kelompok/komunitas dakwah tertentu).
Kesholihan berjama'ah, salah satunya, didapat dengan mengikuti liqo' (pengajian). Dengan hadir dan bertemu rutin kita bisa merancang berbagai program untuk kebaikan masyarakat yang lebih besar dan luas yang tidak bisa kita lakukan jika sendirian. Bisnis saja butuh kelompok agar bisa tumbuh besar, apatah lagi beragama dan berdakwah.
Allah dan Rasul-Nya juga menyuruh kita berjama'ah dan melarang kita meninggalkan jama'ah.
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.." (Qs. 3 ayat 103).
"Hendaklah kalian berjama'ah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama dengan orang yang sendirian. Dan dengan dua orang itu lebih baik. Barangsiapa ingin masuk ke dalam surga maka hendaklah komitmen kepada jama’ah” (HR At-Tirmidzi).
”Dan saya perintahkan kepadamu lima hal dimana Allah memerintahkan hal tersebut: Mendengar, taat, jihad, hijrah dan jama'ah. Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan jama'ah sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya kecuali jika ia kembali. Dan barangsiapa yang menyeru dengan seruan Jahiliyah maka termasuk buih Jahannam. Seseorang berkata:” Wahai Rasulullah, walaupun mengerjakan shalat dan puasa. Rasul SAW menjawab:”walaupun shalat dan puasa. Maka serulah dengan seruan Allah yang telah menamakanmu muslimin, mukminin hamba Allah” (HR Ahmad dan at-Turmudzi).
Ada yang berpendapat bahwa dalil berjama'ah di atas hanya wajib untuk jama'ah muslimin (jama'ah dari seluruh umat Islam saja), yakni ketika nanti ada di dunia kepemimpinan tunggal (khilafah) seperti masa Rasulullah saw dan khalifah setelahnya.
Kalau begitu pemahamannya berarti saat ini kita tidak perlu berjama'ah. Tentu pendapat ini tak masuk akal dan dapat memperlemah upaya mewujudkan ukhuwah dan persatuan umat Islam yang saat ini sedang terpecah belah.
Kaum Islamophobia paling takut dengan persatuan umat Islam, sehingga mereka berupaya memecah belah umat Islam agar lebih suka memikirkan diri sendiri, agar mengejar kesholihan pribadi saja, dan tidak mau berjama'ah. Disebarkan juga propaganda bahwa berjama'ah itu berarti bid'ah, ta'ashub (fanatisme kelompok) bahkan radikal, sehingga orang takut berjama'ah.
Yang benar adalah lengkapi kesholihan pribadi dengan kesholihan berjama'ah.
Maka carilah komunitas di antara sekian banyak komunitas muslim (jama'ah minal muslimin) yang menurut kita baik, yakni mengajarkan nilai-nilai Islam yang moderat, inklusif dan tidak radikal. Jangan ikuti jama'ah yang menganggap kelompoknya saja yang benar, apalagi sampai mengkafirkan sesama muslim (takfiri), seperti ISIS.
Sebab kalau kita hanya sholih secara pribadi tanpa punya komunitas (berjama'ah) berarti kita sebenarnya belum menjadi muslim kaffah (utuh) dan belum berjuang untuk Islam secara amal jama'i (bersama-sama). Kita masih egois dan induvidualistik karena hanya memikirkan kesholihan diri sendiri saja. Hal ini tentu berlawanan dengan prinsip Islam sebagai wihdatul ummah (umat yang satu). "Sesungguhnya ini umatmu umat yang satu, dan aku adalah Rabmu, maka sembahlah Aku” (Qs. 21 ayat 92).
Kembali kepada pertanyaan ibu tadi, kesholihan pribadi tidaklah cukup. Setiap muslim juga harus memiliki kesholihan berjama'ah, untuk kebaikan dirinya, umat dan masyarakat luas. Disinilah pentingnya liqo' sebagai sarana untuk berjama'ah itu sendiri.
Renungkanlah..!
Jika kita cukup hanya sholih secara pribadi saja, lalu apa gunanya ibadah-ibadah yang mengingatkan kita tentang makna berjama'ah, seperti sholat berjama'ah di mesjid, ritual haji, bahkan zakat dan infaq sekalipun?
Bukankah serigala hanya akan menerkam domba yang sendirian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar