By. Satria Hadi Lubis
SEORANG murid yang gundah karena merasa banyak dosa bertanya kepada gurunya, "Wahai guru..aku ingin membuat kuburan kosong di kamarku agar aku mudah mengingat mati, sehingga aku selalu bertaubat.
Sang guru menjawab: "Kuburanmu yang sebenarnya ada di dalam hatimu dan ia akan lenyap bersamaan dengan kekotoran hatimu. Semakin kotor hatimu semakin susah engkau mengingat mati"
Cerita diatas adalah kegundahan seorang murid yang ingin membuat jangkar (anchor) berupa kuburan agar ia bisa selalu mengingat kematian.
Jangkar (anchor) dalam istilah psikologi klasik adalah suatu stimulus yang memicu reaksi khusus. Anchor dapat berupa benda, situasi, orang, bahkan bunyi-bunyian. Anchor dapat terjadi dengan sendirinya (alami), dapat pula diciptakan secara sengaja. Anchor mengingat kematian bisa dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menyimpan suatu benda yang membuat seseorang ingat akan kematiannya.
Kira-kira lima belas tahun yang lalu, saya pernah membuat jangkar agar saya selalu mengingat kematian saya (lihat foto bawah). Jangkar tersebut berupa nisan bertuliskan nama saya dan saya tanam di tembok kamar kerja saya sampai sekarang. Sengaja diletakkan di dekat pintu agar selalu terlihat oleh saya ketika keluar masuk kamar.
Jangkar berupa nisan itu dibuat untuk membuat saya selalu mengingat kematian, sehingga giat beramal sholih mengumpulkan pahala dan menjauhi perbuatan dosa. Kelak jika saya meninggal, nisan itulah yang akan menghiasi kuburan saya.
Awal-awal anchor tersebut efektif mengingatkan saya akan kematian, tapi lama kelamaan kurang efektif lagi. Persis seperti yang dikatakan oleh sang guru pada cerita diatas, "Kuburanmu yang sebenarnya ada di dalam hatimu dan ia akan lenyap bersamaan dengan kekotoran hatimu. Semakin kotor hatimu semakin susah engkau mengingat mati"
Dengan kata lain, jangkar kematian itu sebenarnya ada di hati kita masing-masing. Kebersihan hati akan membuat kita lebih mudah mengingat mati dan tidak takut menghadapinya. Sebaliknya, kekotoran hati akan membuat kita menolak mengingat mati dan takut menghadapinya.
Namun menurut saya, tidak salah juga jika jangkar kematian itu berupa benda atau barang yang bisa mengingatkan kita akan kematian, seperti yang saya lakukan atau mungkin dilakukan oleh orang lain. Kisah para sahabat atau ulama yang membuat jangkar kematian bertebaran di kitab-kitab klasik. Saya dulu juga pernah punya teman yang menyimpan kain kafan untuk mengingat kematiannya.
Namun sebaiknya jangkar kematian berupa benda atau barang tersebut diubah-ubah (diganti) agar tetap efektif menjadi jangkar, sehingga bisa efektif menjadi pengingat hati.
Bagi sebagian orang, tulisan tentang kematian seperti ini mungkin membuat perasaan yang tidak nyaman. Nasehat kematian memang seperti obat, seringkali membuat kita merasa pahit. Namun dibutuhkan untuk kesehatan jiwa kita.
Bahkan Rasulullah saw sendiri menyebut orang yang sering mengingat kematian sebagai orang yang paling cerdas dan paling mulia di dunia. Logika sebaliknya berarti orang yang jarang mengingat mati adalah orang yang paling bodoh dan hina di dunia.
Umar ibn Khattab pernah berkata:
أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عاشرَ عشرةٍ , فقال رجلٌ من الأنصارِ : من أكيَسُ النَّاسِ وأكرمُ النَّاسِ يا رسولَ اللهِ ؟ فقال : أكثرُهم ذِكرًا للموتِ وأشدُّهم استعدادًا له أولئك هم الأكياسُ ذهبوا بشرفِ الدُّنيا وكرامةِ الآخرةِ .
''Bersama sepuluh orang, aku menemui Nabi SAW lalu salah seorang di antara kami bertanya, 'Siapa orang paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?' Nabi menjawab, 'Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat'' (hadits riwayat Ibnu Majah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar