Sabtu, 22 September 2018
SAYYID QUTB
Siapa yang tidak kenal Sayyid Qutb? Seorang pejuang Islam yang akhirnya mati di tiang gantungan oleh rezim durjana Mesir pimpinan Gamal Abdel Nasser pada tahun 1966.
Setiap muslim yang concern dengan pergerakan Islam pasti mengenal beliau dan buku-bukunya yang mencerahkan, menggerakan, menggugah dan memotivasi.
Bacalah buku-bukunya agar kamu tahu bagaimana jalan hidup para pahlawan. Agar kamu tahu betapa berharganya hidup ini untuk memperjuangkan sebuah keyakinan. Sebaliknya, betapa ruginya hidup ini tanpa memperjuangkan sebuah keyakinan (yang mulia).
Kalau tidak salah ada 24 buku beliau, termasuk novel, kritik seni sastra dan buku pendidikan. Antara lain bukunya yang berjudul Keadilan Sosial Dalam Islam dan Ma'alim fi-l-Tariq (Petunjuk Jalan). Serta buku tafsir beliau yang fenomenal, Fi Zilal al-Qur'an (Dalam Naungan al Qur'an).
Anak muda di zaman now harus banyak membaca buku-buku pergerakan Islam agar mereka tidak mudah galau, sedih dan terombang ambing dalam kehidupan, sehingga mudah disetir oleh ideologi hedon yang absurd dan tidak membahagiakan. Agar anak muda berpikir besar bak pahlawan, bukannya berpikir sempit di seputar cinta picisan, games dan mencari fulus recehan.
Ada nasehat beliau --selain yang saya jadikan meme di bawah-- yang relevan dengan kondisi sekarang ketika aktivis dakwah banyak yang terpukau dengan hasil.
، فلا يجوز أن يحسب حملة الدعوة حساب هذه النتائج. إنما يجب أن يمضوا على نهج الدعوة الواضح الصريح الدقيق، وأن يدعوا نتائج هذه الاستقامة لله. ولن تكون إلا خيراً في نهاية المطاف
"Dengan demikian tidak selayaknya bagi para aktifis dakwah menjadikan hasil akhir sebagai tolok ukur dan tujuan utama dakwah mereka. Kewajiban mereka hanyalah menegakkan dakwah di atas manhaj yang lurus dan bersih dari berbagai penyimpangan, seraya bertawakkal dan menyerahkan seluruh hasil usaha yang telah dilakukan dengan penuh istiqomah kepada Allah Azza Wa Jalla wa Jalla. Jika ini telah dilakukan, niscaya kebaikan lah yang akan diperoleh, apapun hasil yang dicapai.
Sayyid Qutb sering dituding sebagai cikal bakal pemikiran radikalisme dalam Islam. Ini tuduhan yang keji dan fitnah terhadap seorang pahlawan Islam. Sedang yang menuduhnya belum tentu telah berbuat banyak untuk Islam.
Yang benar, pemikiran beliau telah menghidupkan banyak pemuda Islam dari tidur panjangnya. Termasuk menyadarkan saya yang di waktu SMA hanya melihat Islam sebagai budaya dan tradisi menjadi yakin bahwa Islam adalah manhaj (pedoman hidup) yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan sejati.
Beberapa hari sebelum syahid di tiang gantungan, beliau berpesan kepada para ikhwan. Pesan ini saya kira perlu menjadi prinsip hidup kita bersama : "Di akhir perjalanan hidupku ini, baru kusadari bahwa kebahagiaan bukan terletak pada seberapa banyak kita mendapatkan, tapi dari seberapa banyak kita memberi". Beliau telah membuktikan, hidupnya untuk kemaslahatan manusia. Jiwanya untuk Islam.
Semoga Allah memuliakan beliau di sisi-Nya, meluaskan kuburnya dan menghidupkan ruh perjuangannya pada dada para pemuda Islam sampai akhir zaman.
"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati" (QS. Ali Imron ayat 168-170).
*Dari fanpage FB satria hadi lubis
BEA CUKAI SEMAKIN BAIK
Jum'at tgl 10 Agustus 2018 yg lalu, saya berkesempatan menjadi moderator dari kuliah umum mahasiswa jurusan Bea Cukai - Politeknik Keuangan Negara STAN yang disampaikan oleh orang nomor 1 di Bea Cukai, Bapak Heru Pambudi, selaku Dirjen Bea Cukai.
Banyak yang disampaikan beliau yang sarat dgn makna. Antara lain adalah tentang pentingnya disiplin mengatur waktu yang dimulai dengan sholat subuh. "Jangan terlambat sholat subuh", kata beliau kepada mahasiswa. "Sebab kesuksesan berawal dari sholat subuh tepat waktu", lanjutnya.
Saya salut dengan pejabat yang selalu mengingatkan tentang pentingnya nilai agama dan korelasinya dengan bekerja. Sebab memang agama adalah awal dan akhir dari segalanya. Tanpa agama, apa pun yang kita kerjakan tidak ada harganya dan sia-sia.
Beliau juga mendukung penuh berbagai kegiatan agama di Bea Cukai, termasuk kegiatan mentoring dari semua agama untuk para pegawainya (bukan hanya mentoring untuk agama Islam saja). Berdasarkan literatur dan pengalaman saya, mentoring agama (liqo') memang efektif untuk membentuk karakter para pesertanya.
Bukan hanya religius, Bapak Heru Pambudi juga dikenal sebagai Dirjen Bea Cukai yang disiplin, profesional dan anti korupsi. Tahun 2017, pak Heru Pambudi mendapatkan Bung Hatta Award, sebuah penghargaan untuk mereka yang gigih memberantas korupsi. Di tahun 2017, pencapaian pendapatan bea dan cukai secara nasional juga melampaui target yang diharapkan.
Tak terasa tiga jam lebih beliau memberikan nasehat dan berbagi pengalaman dengan mahasiswa PKN STAN jurusan Bea dan Cukai. Tampak sekali semangat dan rasa memiliki beliau yang tinggi terhadap masa depan bea cukai, yang kelak akan dipimpin oleh generasi muda mahasiswa PKN STAN.
Seusai acara, beliau menyempatkan diri berfoto selfie dengan mahasiswa. Kesannya akrab dan kebapakan.
Saya terkesan dengan acara tersebut, bukan karena saya menjadi moderatornya hehe, tetapi
karena saya bertemu dengan pejabat yang "hidup" jiwanya.
Saya jadi teringat dengan yel-yel yang beliau minta saya lantangkan kepada mahasiswa.
"Bea cukaiii...!"
"Makin baikkk..!!"
KECERDASAN WAKTU
Sandiaga Salahuddin Uno yang sibuknya bukan main ternyata masih sempat sholat dhuha rutin setiap hari. Beliau juga punya kebiasaan melakukan puasa nabi Daud.
Seorang pejabat yang saya kenal juga punya kebiasaan membaca al Qur'an 2 juz per hari, sholat dhuha dan tahajjud setiap hari. Beliau juga kalau sholat fardhu selalu berjamaah di mesjid di awal waktu. Dari mana saya tahunya? Dari laporan evaluasi yaumiahnya...hehe.
Inilah contoh dua orang yang pandai mengatur waktu, sehingga kesuksesan duniawi diiringi dengan kesuksesan ukhrowi karena tetap rajin ibadah.
Bandingkan dengan sebagian kita yang dgn cepat memaafkan dirinya untuk malas ibadah dengan alasan sibuk kerja. Bahkan dikalahkan oleh kesibukan hura-hura, seperti main game, pacaran, kongkow-kongkow, dan hura-hura lainnya. Ada juga yg berdalih kerja itu kan ibadah juga sebagai alasan untuk melalaikan ibadah khusus seperti sholat, baca Quran, shaum, dan yang lainnya.
Selama ini ada kekeliruan di kalangan sebagian kaum muslimin bahwa hidup ini harus seimbang antara duniawi dan ukhrowi. Anggapan ini keliru, karena yang benar ukhrowi harus lebih utama dibanding dunia. "Dan sesungguhnya hari akhirat itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (dunia)" (Q.s. 93 ayat 4).
Renungkan ayat berikut ini jika ingin tahu hakekat mengatur waktu dan mana yg harus diprioritaskan.
"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi" (Q.s. 17 ayat 18-20).
Allah swt akan memberikan kesuksesan seseorang sesuai dgn orientasinya. Jika ia orientasinya dunia, maka Allah bisa memberikan kesuksesan dunia tsb (itulah sebabnya orang kafir bisa kaya raya) karena kemurahan Allah. Namun ia akan mengakhiri hidupnya dengan tragedi.
Sebaliknya, jika orientasi hidup seseorang ke akhirat maka Allah akan berikan dunia kepadanya asalkan untuk akhirat (ibadah) dia bersungguh-sungguh. Tidak tergoda dan lalai dgn kesibukan dunia.
Itulah sebabnya orang seperti Sandiaga Uno dan pejabat yg saya kenal tsb bisa sukses duniawi karena orientasi mereka ke ukhrowi dengan rajin beribadah.
Inilah kecerdasan mengatur waktu (time intellegence) yang benar. Kecerdasan waktu yang perlu dimiliki setiap orang, terutama generasi milenial, sehingga mereka tidak menghamburkan waktunya untuk hal sia-sia dan berujung penyesalan.
Sebuah kecerdasan yg paling penting di dunia ini. Jauh lebih penting daripada berbagai bentuk kecerdasan lainnya. Bahkan semua kecerdasan yang dimiliki seseorang tak berguna jika ia tidak memiliki kecerdasan mengatur waktu seperti yang disebutkan Allah dalam surat Al Isro' (17) ayat 18-20 di atas.
Kita semua akan pergi...
Pergi menuju keabadian akhirat
Beruntunglah mereka yang menyiapkannya sejak dini
Merugilah mereka yang menunda dan melalaikannya...
*Dari fanpage FB satria hadi lubis
"CEREWET" DENGAN PENDAPATAN SUAMI
"Pak..! Mosok uang belanja gak naik-naik sih! Padahal kebutuhan harian makin bengkak nih..!" Kata emak pertama kepada suaminya. Lalu ia merinci dengan semangat apa saja yang harusnya dipenuhi suaminya agar uang nafkah menjadi cukup.
"Papah....tolong bisa ngerti donk! ...pengeluaran kita makin banyak nih", lalu si emak kedua nyerocos merinci dengan detail apa saja kebutuhan yg harus dipenuhi suaminya. Dari uang sekolah anak sampai uang ke salon agar si emak tetap kinclong.
"Koq uang yang kemaren dikasih sudah habis sih mi?" Kata seorang suami. Lalu si emak ketiga alias si ummi ini merinci pengeluarannya sebagai laporan keuangan kepada sang suami agar laporannya mendapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)...hehe. Lalu ditutup dengan resolusi agar uang belanja ditambah....hehe lagi.
Begitulah dinamika sebagian rumah tangga. Suami pulang cape-cape langsung mendapat "serangan darat" dari istrinya yang mengeluh tentang berbagai pengeluaran rumah tangga.
Alangkah indahnya jika para emak-emak bukan hanya "cerewet" dengan pengeluaran rumah tangga, tapi juga "cerewet" dengan pendapatan suaminya.
Dalam sebuah seminar anti korupsi yang pernah saya ikuti, sang pembicara menyampaikan data (sayangnya saya lupa sumber datanya) bahwa isteri yang sering mengeluh terhadap kekurangan pengeluaran rumah tangga berpotensi membuat suaminya tergoda untuk korupsi. Keluhan yang "cerewet", apalagi diiringi dengan kalimat yang menyentuh harga diri suami, seperti, "suami macam apa kau", "jadi laki koq males sih cari duit", atau yg lebih kejam "kalau begini caranya lebih baik kita pisah aja...aku gak tahan dgn kemiskinan kita" bisa membuat suami gelap mata untuk cari uang demi memulihkan harga dirinya di depan istrinya.
Sebagian emak-emak kurang "cerewet" darimana dan dengan cara apa suaminya mendapatkan uang untuk nafkah keluarga. Malah sebaliknya, langsung gembira dan merasa disayang suami kalau suaminya kasih uang yang banyak. Persis seperti pepatah lama, "Ada uang abang sayang, tak ada uang abang melayang".
Padahal ini krusial. Mungkin saja uang yg didapat suami bukan uang yang halalan wat thoyyibah. Kemudian itu menjadi makanan haram yang mengalir dalam darah si suami, isteri dan anak-anaknya, sehingga doa satu keluarga sulit dikabulkan Allah ajja wa jalla, sebagaimana hadits berikut : "Rasulullah bersabda, 'Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh rambutnya kusut, mukanya berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan, “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku! Padahal makanannya haram dan mulutnya disuapkan dengan yang haram maka bagaimanakah akan diterimanya doa itu?” (HR Muslim).
Naudzubillah....Mungkin saja suami yang nyebelin, isteri yang susah dibilangin, anak yang bandel, padahal kita tiap hari berdoa sampai meneteskan air mata agar dikarunia pasangan yang sakinah dan anak yg sholeh, tidak dikabulkan Allah karena beredarnya uang haram di rumah kita sendiri.
Mari kita perbaiki komunikasi dengan pasangan kita, "cerewetlah" dengan darimana suami dapat uang agar keluarga kita selamat dunia akhirat. Tentu bertanyanya dengan cara yang ma'ruf. Lebih baik lagi jika isteri juga mengurangi keluhannya atas kekurangan nafkah dari suami. Apalagi jika dilihat suaminya sudah rajin cari nafkah, banting tulang siang malam cari uang. Syukur-syukur isteri pengertian lalu mencari tambahan penghasilan atas izin suami.
Di sisi lain, untuk para suami bersabarlah terhadap "kecerewetan" istri atas nafkah. Jangan cepat tersinggung dengan keluhan isteri. Lalu akhirnya gelap mata mencari uang dengan cara yg tidak halal agar bisa dibanggakan isteri dan anak-anak. Ingat selalu ayat berikut ini : “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. 64: 14- 15).
*Dari fanpage satria hadi lubis
SETIAP KITA PUNYA ISMAIL
Allah swt membuat syariat Idul Qurban tentu bukan untuk acara seremonial belaka. Tapi ada banyak makna (pelajaran) di dalamnya. Antara lain, kisah penyembelihan Nabi Ismail as.
Sebagaimana kita ketahui, Nabi Ibrahim as diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail sebagai ujian cinta dari Allah swt, apakah Nabi Ibrahim meletakkan cintanya kepada Allah lebih tinggi daripada anaknya atau tidak. Jika lebih tinggi, ia akan patuh pada perintah Allah walau harus mengorbankan anak yg dicintainya, Ismail as. Terbukti, Nabi Ibrahim lulus dari ujian tsb, sehingga Allah mengganti penyembelihan Nabi Ismail as dengan seekor qibas.
Ujian Nabi Ibrahim bukanlah eksklusif miliknya, setiap kita pasti akan diuji dengan ujian cinta seperti Nabi Ibrahim as. Apakah kita mencintai Allah lebih tinggi atau lebih rendah daripada selain Allah. Ujian ini datang setiap saat dan tidak hanya sekali.
Peristiwa kehilangan yang kita alami sepanjang hidup pada hakekatnya adalah ujian cinta dari Allah. Kehilangan sanak keluarga, harta benda, kekasih bahkan sandal jepit sekali pun adalah ujian tentang kadar cinta kita kepada Allah. Apakah kita bisa move on dan melanjutkan hidup atau tidak. Apakah kita terus melangkah sampai ajal tiba dengan terus mencintai Allah apa tidak. Mereka yang gagal move on akan menyesal. Menyesal karena tidak bahagia hidup di dunia dan akhirat. "Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)" (Qs. 2 ayat 165).
Itulah sebabnya jika kita kehilangan sesuatu Allah memerintahkan kita untuk mengucapkan dengan lapang dada kalimat "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un" (Sesungguhnya segala sesuatu milik Allah dan akan kembali kepada Allah) sebagai tanda ketaklukan kita, cinta hanya kepada Allah semata.
Mereka yang lulus ujian cinta ini akan dikasihi Allah dan menjadi kekasih Allah. Sebaliknya, mereka yg tidak lulus ujian ini akan membuat Allah cemburu dan akan diuji lagi dengan lebih keras sampai ia menyerah pasrah dan mengakui bahwa ALLAH satu-satunya puncak cintanya.
Sesungguhnya setiap kita pasti mempunyai "ismail-ismail" yang akan diuji oleh Allah swt seperti Nabi Ibrahim as juga diuji. Jika gagal dalam ujian cinta ini, maka terjadilah tragedi cinta seperti kisah roman "Romeo and Juliet". Atau seperti kisah cinta seorang wanita yang bersumpah tidak akan menikah seumur hidup karena gagal menikah dengan pria yang dicintainya. Mereka rela menghancurkan diri sendiri demi cinta yang tidak proporsional alias bodoh. Bukankah ini tepat disebut tragedi cinta?
Ujian cinta untuk rela mengorbankan "ismail" dalam diri kita adalah untuk kebahagiaan kita sendiri. Sebab Allah, yang memiliki hati, tentu tahu bagaimana caranya membuat manusia bahagia, yakni ketika manusia tsb tenggelam dalam cinta kepada Allah swt semata. "Ketahuilah hanya dengan mengingat Allah maka hatimu menjadi tenang (bahagia)" (Qs. 13 : 28).
Sayang....sebagian manusia malah memilih jalan tragedi cinta, karena tidak mau mengorbankan "ismail" dalam dirinya.
*Dari fanpage satria hadi lubis
CINTA YANG DINAMIS
Namanya Atikah binti Zaid. Seorang wanita cantik rupawan dan seorang gadis sholihah dari keluarga sangat kaya raya. Hidup di masa Rasulullah saw. Saudaranya, Said bin Zaid adalah salah satu dari sepuluh orang sahabat Nabi yg dijanjikan masuk surga.
Atikah menikah dengan Abdullah, anak dari Abu Bakar Ash Shiddiq ra. Abdullah sangat memuliakan, menghormati dan menjaganya. Terlena dengan kecantikan dan cintanya kepada Atikah, Abdullah melalaikan tanggungjawabnya kepada Allah. Masjid tidak lagi dikunjungi tiap kali waktu shalat, meninggalkan shalat berjamaah yang sebelumnya sering dilakukannya, meninggalkan peperangan dan perniagaan.
Pada suatu hari, Abu Bakar lewat di depan rumah Abdullah untuk pergi bersama-sama shalat di masjid. Namun apabila terlihat olehnya anaknya sedang bermesraan dengan istrinya dengan lembut dan romantis, Abu Bakar membatalkan niatnya dan meneruskan perjalanan ke masjid. Setelah selesai menunaikan shalat, Abu Bakar sekali lagi melalui jalan di rumah anaknya . Alangkah kesalnya Abu Bakar apabila beliau mendapati anaknya masih bersenda gurau dengan istrinya sebagaimana sebelum menunaikan shalat dimasjid. Kemudian Abu Bakar segera memanggil Abdullah. Dia Bertanya
” Wahai Abdullah, apakah kamu shalat berjamaah?”
Tanpa berhujjah panjang Abu Bakar berkata,
” Wahai Abdullah, Atikah telah melalaikan kamu dari kehidupan dan pandangan hidup, malah dia juga telah melupakan kamu dari shalat fardhu, ceraikanlah dia!”.
Demikianlah perintah Abu Bakar kepada Abdullah. Suatu perintah ketika mendapati anaknya melalaikan hak Allah. Ketika beliau melihat Abdullah terpesona keindahan dunia sehingga menyebabkan semangat juangnya luntur. Tanpa membuat dalih, Abdullah mengikuti perintah ayahandanya dan menceraikan istri yang cantik dan dicintainya. Subhanallah!
Perceraian ini membuat Abdullah sakit. Lalu dia merangkum sebuah syair untuk Atikah. Kemudian Abu Bakar pun menyuruhnya untuk rujuk kembali. Atikah dan Abdullah pun belajar dari kesilapan lalu, supaya tidak meletakkan cinta antara mereka melebihi cinta kepada Allah.
Abdullah ra wafat dalam medan juang, syahid selepas Perang Tha'if, semoga Allah merahmatinya.
Sepeninggal suami yang dicintainya, banyak sahabat yang meminang Atikah tapi semua ditolaknya sampai akhirnya Umar bin Al-Khattab melamarnya. Maka Atikah menikah dengan Umar yang dicintainya sepenuh hati. Umar Al-Khattab akhirnya syahid ditikam seorang Majusi bernama Lu’lu’ ketika sholat.
Setelah Umar meninggal dunia dan habis massa iddahnya, dia menikah lagi dengan Zubair Bin Awwam yang juga dicintainya sepenuh hati. Az-Zubair meninggal dunia, syahid setelah dibunuh secara zalim dalam Perang Jamal di Wadi siba’.
Setelah itu, Atikah dilamar oleh Ali bin Abu Thalib. Kemudian Ali mengatakan :”Siapakah yang menyukai mati syahid di masa mendatang, maka hendaklah dia menikah dengan Atikah” karena memang semua suaminya meninggal dalam keadaan terbunuh. Atikah meminta Ali tidak berperang jika ingin menjadi suaminya. Akhirnya Ali pun urung dan digantikan oleh anaknya Husain. Saat itu, Atikah sudah berusia 50 tahun. Kemudian dia dinikahi Husain bin Ali yang usianya jauh lebih muda darinya. Husain ra juga terbunuh syahid di padang Karbala.
Sungguh tak terbayang kecantikan dan akhlak seorang Atikah sampai Allah menghadiahkannya empat orang suami yang semuanya mati syahid.
Ini karena Atikah mampu menempatkan cintanya secara permanen hanya kepada Allah. Sedang cinta kepada selain Allah itu dinamis. Tidak usah permanen dan lebay. Atikah seorang yg bertauhid dan tidak mau menjadi syirik karena mencintai suaminya lebih dari cintanya kepada Allah.
Selama suaminya masih hidup ia mencintai suaminya dan berbakti kepadanya. Namun ketika suaminya meninggal ia dgn ikhlas melepaskannya dan siap untuk mencintai suami barunya seperti ia mencintai suami terdahulunya.
"Hukum" cinta yang dinamis milik Atikah mungkin tidak akan nyambung dgn kisah cinta "sampai mati" yg dicekoki oleh sinetron/film romantis di zaman sekarang. Dimana seseorang sangat mencintai pasangannya tanpa bisa berpindah ke lain hati. Sampai ada yg rela kesepian seumur hidup karena tidak mau menikah lagi atas nama cinta sejati.
Padahal kalau direnungkan itu bukan cinta sejati, tapi cinta yg tidak proporsional. Sebab yg permanen dan tidak boleh ke lain hati hanya cinta kita kepada Allah swt. Sedang cinta kita kepada selain Allah harusnya dinamis. Cintai dan syukuri ketika ia ada. Lupakan dan cari cinta baru ketika ia pergi. Berani move on..seperti Atikah sang wanita sholehah yang kelak di akhirat akan mendapatkan syafaat dari empat suaminya yang hebat dan mulia itu.
Pelajaran bagi kita semua. Cintai Allah secara permanen dan cintai selain Allah secara dinamis agar kita bertauhid dan bahagia. Bukannya syirik (mempersekutukan Allah) dan sengsara atas nama cinta sejati.
By. satria hadi lubis
THE POWER OF EMAK-EMAK
Sudah berkali-kali saya isi ceramah, pesertanya kebanyakan emak-emak. Apalagi jika temanya tentang keluarga, emak-emak lebih semangat lagi.
Pengajian di komplek-komplek perumahan yang lebih aktif adalah pengajian emak-emak daripada bapak-bapak.
Kalau nganterin anak-anak ke sekolah atau ada acara di sekolah anak, emak-emak juga yang lebih banyak datang.
Di kantor, emak-emak juga dikenal lebih teliti dan lebih tekun dalam menyelesaikan pekerjaan. Itu sebabnya pekerjaan yang detail dan bersifat administratif kebanyakan dipegang emak-emak kantoran.
Siapa yang jadi "kompor" agar reuni jalan dan ikatan alumni dari tingkat TK (kalau ada) sampai perguruan tinggi tetap aktif? Lagi-lagi emak-emak.
Mau nyumbang bagi kegiatan sosial? Emak-emak yang paling aktif mengumpulkan dana dan melaksanakan kegiatan sosial.
Siapa yang lebih survive menjadi single parent? Emak-emak lagi jawabannya.
Nah yang ini agak ilmiah....siapa yang lebih panjang rata-rata usianya? Kakek-kakek atau nenek-nenek? Ternyata nenek-nenek alias emak-emak lagi.
Mau menang pemilu? Ambil suara emak-emak yang bisa mengajak keluarga dan tetangganya dengan semangat agar mencoblos calon dambaannya.
Siapa juga yang getol menginginkan perubahan bangsa? Emak-emak juga ternyata, karena mereka yang langsung merasakan mahalnya isi dapur. Saking semangatnya emak-emak sampai perlu dihalang-halangi seperti yg dialami Bunda Neno.
Jadi jangan sepelekan emak-emak. Mereka adalah gelombang raksasa yang bisa merubah seseorang, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia.
Rangkul emak-emak. Mengertilah akan mereka. Sebab ia ibumu, istrimu, saudaramu dan anak-anakmu kelak.
Hidup The Power of Emak-Emak! 😀
BEFORE YOU DIE
By. Satria Hadi Lubis
Hidup ini hanya sekali dan singkat. Rugi jika kamu tidak bahagia. Rugi juga jika tidak digunakan untuk beramal bagi hidup bahagia kekal di akhirat kelak. Maka sebelum meninggal, hiduplah bahagia dengan menerapkan 5 (lima) hukum kekuatan ini.
1. The Power of Passion
Tugas pertama manusia adalah menemukan apa yg paling diinginkan. Itulah talentanya (passion). Tanpa mengerjakan yang paling diinginkan kamu sulit bahagia. Banyak orang yg sekarang ini hidup dlm program orang lain, sehingga kepribadiannya pecah dan tidak bahagia.
Cara mengetahui apa yg kamu inginkan tanyalah kepada dirimu pertanyaan ini : Jika umurmu tinggal 3 bulan apa yg ingin kamu lakukan?
2. The Power of Now
Dari dulu orang tua kita bilang, jangan menunda-nunda pekerjaan. Sebab menunda berarti mengundang datangnya masalah dan mengurangi kesempatan. Akhirnya, yang ada tinggal penyesalan.
Untuk tidak menunda, kamu harus berani menanggung resiko. Resiko adalah investasi pembelajaran dan kegagalan adalah jalan yg harus ditempuh menuju sukses. Penyesalan lebih besar karena tdk berbuat daripada berbuat.
Untuk tahu apa yg sering kamu tunda tanya selalu kepada dirimu : Apa yang aku inginkan, tapi aku tunda terus krn takut mengambil resiko?
3. The Power of Love
Jadilah manusia cinta. Bukan manusia yang ingin mencintai dan dicintai, tapi jadilah cinta itu sendiri. Menjadi titisan dari cinta Allah yang Maha Cinta.
Biasanya cinta menjadi sulit jika kamu sibuk dengan ego diri sendiri atau terlalu sibuk melihat kekurangan orang lain. Menerima kekurangan orang lain adalah kebijakan tertinggi.
Untuk menjadi cinta, tanyalah pada dirimu sendiri: "Sudahkah aku memperlakukan orang-orang disekitarku dgn penuh cinta?"
4. The Power of Force
Hiduplah sepenuh hati. Rahasianya, anggap hari ini hari terakhirmu. Diam, renungkan dan syukuri apa yang ada. Nikmati kondisi sekelilingmu dengan memaksimalkan panca inderamu. Amati pernik-pernik kecil di sekelilingmu. Lihat daun-daun di pepohonan, hirup udara segar, dengarkan desiran angin, eratkan jabat tangan, atau serba-serbi bumbu makanan. Niscaya jika kamu hadir utuh (khusyuk) maka engkau akan bahagia seketika itu juga. Kamu sulit bahagia, jika fisik hadir tapi pikiran entah kemana.
Pertanyaan yang perlu kamu lakukan adakah : Apakah aku hari ini telah hidup sepenuh hati atau sekedar melaluinya?
5. The Power of Giving
Banyak yang menyangka menerima itu membahagiakan. Padahal yg tepat itu menyenangkan. Bahagia --yang levelnya lebih tinggi dari senang-- justru didapat dengan memberi, bukan menerima. Jika kami sedang tdk bahagia, maka lakukanlah sesuatu untuk orang lain. Niscaya kamu bahagia.
Selalu tanyakan pada dirimu: Apa 3 (tiga) kebaikan yg telah aku lakukan pada hari ini?
Lima (5) The Power of Life ini adalah hukum kehidupan. Juga hukum bahagia. Implemantasikan dan jangan tergoda untuk mengabaikannya. Maka engkau menjadi rahmat bagi semesta alam.
Hmm....Bila mereka bilang
Siapa yang peduli, bila ada satu lagi cahaya yang hilang?
Di langit dengan jutaan bintang-bintang
Well, aku peduli
MENINGGALKAN KEBENARAN DEMI SAKIT HATI
By. Satria Hadi Lubis
Alkisah, ada seorang anak Jepang yang (maaf) pincang kakinya sering mendapatkan ejekan dari teman-temannya. Namun si anak tetap terlihat gembira dan terus bermain dengan teman-teman yang mengejeknya. Sampai suatu ketika gurunya bertanya, "Mengapa engkau tidak sakit hati dan sedih walau diejek oleh teman-temanmu?" Sang anak yang kakinya pincang tsb menjawab dgn tersenyum, "Ibu guru, mereka boleh omong apa saja tentang aku. Tapi selama kata-kata ejekan itu tidak aku ijinkan MASUK ke dalam hatiku, maka kata-kata itu tidak ada pengaruhnya untukku".
Cerita tersebut harusnya menjadi prinsip kita dalam bergaul dan berinteraksi dengan orang lain. Berat memang dalam praktek, tapi bisa koq jika dilatih dengan menjaga kebersihan hati dan yakin bahwa kita tidak tergantung dengan penilaian orang lain. Yang penting teruslah berbuat baik dan merangkul orang lain. Nanti lama kelamaan anggapan mereka kepada kita juga akan berubah. Kalau pun tidak berubah, yang penting kita tetap baik di mata Allah.
Hal ini juga berlaku bagi para pembela kebenaran dalam sebuah komunitas (jama'ah).
Sakit hati dalam pergaulan berjama'ah kadang bisa membuat seseorang berbalik arah membenci nilai-nilai kebenaran yang tadi dibelanya. Saking sakit hatinya kadang melupakan akal sehat dan nuraninya, sehingga akhirnya bergabung dengan para pembela kezaliman yang tadinya menjadi musuhnya.
Sakit hati kadang mengubur pikiran-pikiran besar. Mengubur cita-cita besar bersama para pembela kebenaran. Bila diri berjiwa besar, mestinya kita lebih siap mengorbankan perasaan sakit hati tersebut dan memilih tetap bersama para pembela kebenaran. Sebab kebenaran untuk kebaikan semesta jauh lebih mahal nilainya daripada sakit hati perorangan. Itulah yang dipahami Khalid bin Walid ra ketika beliau mengorbankan egonya ketika dipecat oleh Khalifah Umar, walau telah berdedikasi tinggi membela negara. Khalid ra tetap berperang di jalan Allah dan tetap berdedikasi walau tidak lagi menjadi panglima perang.
Sakit hati bersama orang yang membela kebenaran adalah ujian keikhlasan. Apa alasan kita bersama kebenaran? Karena dihargai atau dimuliakan? Bukan! Tapi karena kesadaran diri bahwa kebenaran harus diperjuangkan bersama, walau kita hanya sekrup di dalam sebuah mesin yang besar.
Saat dirimu kecewa dengan para pembela kebenaran karena tidak menghargaimu, maka bersikaplah seperti anak kecil dari Jepang pada cerita di atas, sehingga sakit hatimu tidak merasuk ke tulang sumsum yang membuat kita meninggalkan teman-teman seperjuangan.
Buktikan dengan tetap bersama atau minimal berpisah tanpa keinginan untuk menghancurkan organisasi, lembaga atau jama'ah kebenaran tersebut.
Biarkan hatimu kecewa namun jangan pernah mengecewakan tegaknya kebenaran. Karena kebenaran adalah kemaslahatan semua manusia. Sedangkan sakit hati, cara kerdil jiwa melihat dirimu.
"Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhoaan Allah" (Qs. 2 ayat 207).
Demi ridho Allah, semuanya --termasuk perasaan-- harus siap untuk dikorbankan.
DAMAI DENGAN PERBEDAAN
Kalau tinggal di perumahan berdamailah dengan teriakan tukang sayur dan tukang bubur.
Kalau tinggal di pinggir jalan berdamailah dengan bisingnya knalpot dan klakson kendaraan.
Kalau tinggal di hutan berdamailah dengan suara jangkrik di malam hari.
Kalau di ruang tunggu bandara, nikmati saja suara pengumuman waktu pesawat tinggal landas.
Kalau tinggal deket vihara, nikmati aroma dupa dan suara gong.
Kalau tinggal deket gereja, berdamai saja dengan dentangan suara lonceng dan musik di gereja.
Kalau tinggal di pulau Bali nikmatilah suasana nyepi yang begitu sepi.
Kalau tinggal dekat mesjid atau musholla, berdamailah dengan suara azan.
Tak perlu menghujat dan minta agar menghentikan suara azan dari toa mesjid/musholla.
Tak perlu harus pamer foto profil atau berkoar-koar
SAYA INDONESIA.....
SAYA PANCASILA......
SAYA BHINEKA TUNGGAL IKA....
untuk menunjukkan bahwa Anda paling TOLERANSI.
Karena toleransi berarti berdamai dengan perbedaan. Jangan sampai slogan toleransi dijadikan alat untuk membungkus kebencian Anda. Dan jangan benci karena berbeda itu indah.
Jangan menuduh orang yang berbeda aspirasi dengan Anda sebagai musuh. Bahkan ditarik lebih jauh menjadi musuh negara dengan tuduhan radikalisme.
Wahai....
Langit tak pernah sombong walau ia paling tinggi.
Laut pun tak pernah congkak meski ia sangat dalam.
Dimana bumi berpijak, disanalah langit dijunjung. Jangan sekedar teriak, jika kearifan masih tanggung.
BERAMAI RAMAI MEMBUNUH KEBENARAN , BERSAMA - SAMA HIDUP DALAM AIB
TENTARA musuh memasuki sebuah desa . Mereka menodai kehormatan seluruh wanita di desa itu, kecuali seorang wanita yang selamat dari penodaan.
Dia melawan, membunuh dan kemudian memenggal kepala tentara yang akan menodainya.
Ketika seluruh tentara sudah pergi meninggalkan desa itu, para wanita malang semuanya keluar dengan busana compang-camping, meraung, menangis dan meratap, kecuali satu orang wanita tadi.
Dia keluar dari rumahnya dengan busana rapat dan bersimbah darah sambil menenteng kepala tentara itu dengan tangan kirinya.
Para wanita bertanya : "Bagaimana engkau bisa melakukan hal itu dan selamat dari bencana ini?"
Ia menjawab : "Bagiku hanya ada satu jalan keluar. Berjuang membela diri atau mati dalam menjaga kehormatan".
Para wanita mengaguminya, namun kemudian rasa was-was merambat dalam benak mereka. Bagaimana nanti jika para suami menyalahkan mereka gara-gara tahu ada contoh wanita pemberani ini.
Mereka kawatir sang suami akan bertanya, Mengapa kalian tidak membela diri seperti wanita itu, bukankah lebih baik mati dari pada ternoda?
Kekaguman pun berubah menjadi ketakutan yang memuncak.
Bawah sadar ketakutan para wanita itu seperti mendapat komando.
Mereka beramai-ramai menyerang wanita pemberani itu dan akhirnya membunuhnya.
Ya, membunuh kebenaran agar mereka dapat bertahan hidup dalam aib, dalam kelemahan, dalam fatamorgana bersama.
Beginilah keadaan kita saat ini, orang-orang yang terlanjur rusak.
Mereka mencela, mengucilkan, menyerang dan bahkan membunuh eksistensi orang-orang yang masih konsisten menegakkan kebenaran, agar kehidupan mereka tetap terlihat berjalan baik.
Walau sesungguhnya penuh aib, dosa, kepalsuan, pengkhianatan, ketidak berdayaan, dan menuju pada kehancuran yang nyata.
Sebelum terlambat, pastikan berani berpihak kepada KEBENARAN.
# copas
MUROBBI BUKAN USTADZ
By. Satria Hadi Lubis
Saya sering mengisi pelatihan mentoring (liqo' atau halaqoh), dan sering ditanya apa bedanya ikut liqo' dengan ikut pengajian umum (ta'lim).
Saya bilang keduanya baik, dan keduanya perlu ada untuk eksistensi dakwah Islam.
Perbedaannya terletak pada tujuan. Pengajian umum tujuannya tsaqowah Islamiyah (memberikan wawasan Islam). Liqo' tujuannya lebih jauh lagi, yakni takwinul syakhsiyatul Islamiyah (membentuk kepribadian Islami).
Mengapa liqo' lebih efektif dalam membentuk syakhsiyatul Islamiyah?
1. Sebab liqo' berlangsung rutin dengan materi yang berkelanjutan. Pengajian umum semaunya, mau datang atau tidak pesertanya maka tidak ada ikatan.
2. Liqo' memiliki mentor tetap (murobbi) yang membimbing secara akrab dan personal. Pengajian umum ustadznya bergonta ganti, sehingga hubungan sulit akrab dan tidak bisa bersifat personal. Apalagi jika ustadznya lawan jenis.
3. Konsep liqo' adalah konsep pengayoman. Yang dalam dunia bisnis disebut coaching atau mentoring. Setiap orang jika ingin maju butuh coach atau mentor. Termasuk kalau dia ingin beragama dgn baik maka ia butuh mentor.
Dulu, konsep mentor dalam beragama adalah lazim karena hubungan ulama dgn santri bersifat akrab dan personal. Tetapi sekarang di pengajian umum (ta'lim atau tabligh akbar) tidak bisa sampai sejauh itu.
Liqo' dengan jumlah peserta yg terbatas (3 sd 12 orang) dan dengan mentor tetap memungkinkan terjadinya interaksi yg intens, sehingga terjadi pendidikan (tarbiyah), bukan sekedar mengajar.
Jika ada yg nyinyir mengatakan bahwa kapasitas murobbi yg ada saat ini tidak sekaliber ustadz, maka jawabannya bisa benar atau tidak. Benar jika mentornya bukan ustadz dan salah jika mentornya memang ustadz yg punya latar belakang syariah.
Tapi memang liqo' bukan dirancang untuk sekedar mengajar agama. Dan mentor (murobbi) BUKAN dirancang untuk menjadi ustadz. Murobbi dirancang untuk memiliki 4 peran, yakni sebagai SAHABAT, ORANG TUA, PEMIMPIN DAN USTADZ. Dan peran utamanya adalah menjadi pemimpin yg memotivasi dan memberdayakan peserta liqo'. Oleh sebab itu, secara teoritis menjadi murobbi itu lebih sulit daripada menjadi ustadz. Ada tanggung jawab berkepanjangan dan menempel dalam diri seorang murobbi kepada peserta liqo'. Berbahagialah mereka yg menjadi murobbi dengan pahalanya yg berlimpah.
Efektivitas liqo' sudah terbukti dari jaman ke jaman. Nama boleh berbeda-beda tapi esensinya sama di sepanjang jaman, yakni untuk menjadi muslim yg baik butuh mentor yg membersamainya dari hari ke hari. Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw yg membersamai para sahabat ra sehingga mereka berubah from zero to hero.
Sebab itu carilah dan bersamalah dengan liqo'.
Karena ia fitrah pemberdayaan manusia.
Terutama jika engkau sungguh-sungguh ingin berubah.
Jadilah seperti elang yang berani terbang tinggi sendirian untuk melihat dunia lebih luas dan "menaklukannya".
Jadilah mentor dan mentee (murobbi dan mutarobbi) yang berani beda dengan lingkungan yg asing terhadap liqo'. Nikmati pola pikir yg luas dan "taklukan" keterbatasanmu.
Foto : acara training of trainers untuk menjadi mentor agama Islam di Bea Cukai.
AKHIRNYA MEREKA BERCERAI
By. Satria Hadi Lubis
Setiap suami isteri memiliki kekurangan. Yang jika tidak dikelola dengan baik, kekurangan tsb bisa menjadi bencana dalam rumah tangga.
Syahdan, ada sepasang suami isteri yang rukun dan telah dikarunia anak-anak yang pintar dan sholeh.
Sampai suatu ketika di usia pernikahan mereka yang sudah puluhan tahun, sang suami menikah lagi secara diam-diam tapi akhirnya ketahuan oleh sang isteri.
Mengapa bisa ketahuan? Si isteri menyadap hape suaminya. Dan mengapa si isteri punya ide menyadap hape suaminya? Karena si suami sudah berkali-kali ketahuan serong. Ditutupi dan ketahuan lagi. Ditutupi dan ketahuan lagi. Sepertinya si suami punya kekurangan, yakni suka dikagumi banyak perempuan. Mungkin karena ia merasa ganteng dan masih menarik bagi perempuan.
Sebenarnya alasan si suami untuk mendekati perempuan lain adalah agar bisa menikah lagi. Tapi ia gagal memberikan pemahaman kepada isteri untuk menerima konsep poligami, sehingga upaya mencari isteri baru dilakukan dgn diam-diam.
Kekurangan sang isteri adalah terlalu mencintai suami, sehingga bawaannya cemburu dan curiga terus. Sampai suami merasa terkekang dan merasa gak nyaman, sehingga akhirnya malah membuktikan kecurigaan istrinya dengan menikah lagi secara diam-diam.
Tidak usah dipermasalahkan mana yg lebih dulu membuat masalah, si suami atau isteri. Ini sama saja dengan berdebat mana yg lebih dulu antara ayam dan telor ayam.
Yang perlu diambil pelajaran adalah kekurangan masing-masing suami dan isteri perlu dikelola dgn baik. Jangan terpancing membalas kekurangan pasangan dgn tindakan emosional.
Mestinya sang suami paham, jika gagal memberikan penjelasan kepada isteri tentang konsep poligami, maka sebaiknya jangan ngotot melangkah untuk poligami. Mentang-mentang tidak perlu izin isteri untuk berpoligami, bukan berarti suami bisa melakukan poligami secara diam-diam. Sebab mudharatnya lebih banyak, berbohong yang awalnya sedikit tapi lama kelamaan menjadi bukit. Jika ketahuan, maka bisa menjadi konflik berkepanjangan dalam sebuah rumah tangga.
Si isteri juga cintanya berlebihan. Cinta yg berujung pada cemburu dan curiga akut kepada gerak gerik suami. Membuat suami merasa terkekang dan tidak nyaman.
Mereka tidak mampu mengelola kekurangan masing-masing. Berlebihan dalam urusan kekurangan masing-masing.
Mereka akhirnya bercerai...
MENIKAH DIAM-DIAM
By. Satria Hadi Lubis
Saya termasuk yang tidak setuju jika seorang suami menikah lagi dengan cara diam-diam (sirri) dan diawali dengan kebohongan. Padahal berbohong diawal akan diikuti dengan berbohong berikutnya untuk menemui istri sirrinya secara diam-diam. Dosa berbohong berkali-kali akan membuat si pelaku dicatat sebagai pembohong sejati, sehingga berhak masuk neraka. Rasulullah saw bersabda: "..Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong)" (HR. Bukhari).
Biasanya suami yang menikah diam-diam, 90 persen diawali oleh perselingkuhan, mulai dari selingkuh hati sampai selingkuh kelamin. Ini berarti sudah mengawali sesuatu yg suci (perkawinan) dengan maksiat. Padahal Allah berfirman: "Janganlah engkau mendekati zina" (Qs. 17 ayat 32). Wajar jika isterinya marah dengan pernikahan diam-diam tersebut karena diawali dengan perselingkuhan (tidak setia).
Jika seorang suami tidak bisa memberikan pemahaman kepada istrinya untuk bersedia dipoligami, maka ia sebenarnya ditakdirkan Allah untuk tidak berpoligami. Bersyukur sajalah dengan satu istri.
Jika masalahnya disyahwat, tahanlah sebentar. Toh hidup di dunia ini hanya singkat. Tidak sampai 1,5 jam dalam hitungan akhirat. Gimana caranya menahan syahwat? Jawabannya klasik, banyak ibadah, dakwah, puasa, memperbaiki pola hubungan seksual dgn istri, dll.
Jangan "menjebak" isteri dengan menikah dulu baru diselesaikan nanti kalau ketahuan. Lalu meminta isteri menerima apa yg sudah terjadi dengan alasan takdir, walau istrinya tetap tidak menerima. Atau meminta istri jangan menentang ayat Allah tentang poligami padahal itu cara ngeles karena ketahuan.
Bukankah Allah mengisyaratkan takdir seseorang dengan halangan dan kemudahan yang diterimanya? Apalagi jika istrinya kemudian marah karena suaminya ketahuan poligami diam-diam, lalu terpaksa menerima dengan alasan takdir, tapi hubungan tidak lagi hangat, lalu muncul pertengkaran berulang-ulang dalam sisa perjalanan pernikahan, yang akhirnya ada yg bercerai, bukankah itu pertanda Allah sebenarnya mentakdirkan suami tsb untuk monogami saja?
Wahai para suami...janganlah engkau "memaksa" Allah untuk memindahkan takdirmu yang baik menjadi takdirmu yang buruk.
WASIAT UNTUK ANAK
Anakku...dalam agama kita, wasiat bukan hanya baru dilakukan ketika abimu sakratul maut
Tapi wasiat bisa disampaikan kapan saja
Karena wasiat adalah pesan-pesan berharga
Aku wasiatkan kepadamu empat hal saja :
Jangan tinggalkan sholat
Bacalah al Qur'an tiap hari
Liqo (ngaji) jangan ditinggal
Dan berdoalah selalu untuk abi dan ummimu
Cukuplah wasiat ini
Karena rezekimu yang lain akan turun dari wasiat ini
Abi tidak minta yang lain
Hadirnya kalian di dunia saja sudah merupakan berkah untuk kami
Apakah engkau kaya
Apakah engkau berpangkat
Apakah engkau tenar
Itu tak ada artinya bagi abi
Jika kau jauh dari wasiat ini
Sebab umur yang menua ini mendidik abi tentang kegagalan dan sukses
Engkau mungkin masih silau dengan sukses menurut orang banyak
Tapi percayalah...
Surga dan neraka kehidupan
Ada di wasiat abi ini
Surga akan kau dapatkan dari dunia sampai akhirat jika wasiat ini kau jalankan
Sebaliknya...ahh
Abi tidak mampu menuliskan akibatnya jika engkau tinggalkan wasiat ini
Langsung terbayang kengerian apa yang terjadi denganmu
Walau abi sudah tiada kelak
Hiburlah abi dengan melihat kamu menjalankan wasiat ini
Dalam kesendirian abi
Di alam kubur sana
By. Satria Hadi Lubis
MENEPI, BUKAN PERGI
MENEPI, BUKAN PERGI
By. Satria Hadi Lubis
Kekecewaan Abu Dzhar Al Ghifari ra atas gaya hidup Khalifah Utsman ra yg berbeda dgn dua khalifah sebelumnya membuat beliau menyingkir dan menyendiri ke Rabadzah sampai akhir hayatnya. Beliau memilih menjadi "oposisi" pemerintahan Utsman bin Affan ra tanpa pernah berniat mengangkat senjata atau keluar dari jama'ah kaum muslimin. Bahkan suatu ketika ia pernah berkata, “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Hal yang sama dilakukan Khalid bin Walid ra, ketika diberhentikan Khalifah Umar dari jabatan panglima perang. Khalid tentu kecewa atas keputusan Umar ra, namun kekecewaan tersebut tidak membuat beliau membelot dan melawan Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra. Padahal kalau ia mau, ia bisa memobilisir para prajurit yang masih setia kepadanya untuk melawan pemerintahan Umar ra.
Khalid si pedang Allah tetap ikut berperang sampai akhir hayatnya walau hanya sebagai prajurit biasa. Suatu ketika ia ditanya mengapa tetap berperang walau sudah diberhentikan sebagai panglima perang, beliau menjawab dgn tegas, "Aku berperang bukan karena Umar, tapi karena Allah!".
Lain halnya dengan kisah Wahsyi yang pernah membunuh paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib ra. Wahsyi akhirnya masuk Islam dan meminta maaf kepada Nabi saw atas perbuatannya yang pernah membunuh Hamzah ra. Nabi memaafkan Wahsyi, namun beliau berkata, "Jangan perlihatkan wajahmu lagi di hadapanku setelah ini karena setiap melihatmu terbayang wajah Hamzah bin Abdul Muthallib yang rusak dihancurkan olehmu saat itu”
Wahsyi merasa kecewa di dalam hatinya, namun ia tidak membelot dan melawan Nabi. Wahsyi sadar akan kedudukannya, ridha menerima ketentuan itu. Dia memperbaiki dirinya dan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah.
Sebagai penebus atas dosa-dosanya beliau bertekad untuk tidak akan pulang lagi ke Kota Mekah demi untuk merebut cinta kekasih Allah yaitu Muhammad saw. Wahsyi benar-benar ingin menebus kesalahannya dengan menyebarkan Islam. Niat Wahsyi itu telah dibuktikannya dengan menjelajah ke seluruh pelosok dunia untuk berdakwah mengajak sebanyak-banyaknya manusia memeluk kepada Islam, hingga akhirnya beliau wafat di luar Jazirah Arab.
Begitulah sikap para sahabat jika mereka kecewa terhadap jama'ah kaum muslimin, menepi tapi tidak pergi dari jama'ah. Mereka tetap mengakui kepemimpinan jamaah, tetap taat dan ikhlas beramal untuk jamaah, walau sadar tidak memiliki peran yang signifikan lagi dalam jama'ah.
Sikap semacam inilah yang perlu ditiru aktivis dakwah jika mereka kecewa dengan kepemimpinan jama'ah. Jika tausiyah sudah diberikan, namun qiyadah tetap pada kebijakannya, maka menepi sajalah dan jangan pergi (keluar). Tetaplah bekerja dalam dakwah. Tidak usah membentuk gerakan baru. Selain menguras sumber daya dan waktu, toh rezim kepemimpinan jama'ah juga bisa berubah. Bukankah tidak ada yang abadi di dunia ini? Yang tadinya memimpin sekarang tidak lagi memimpin, begitu pun sebaliknya yang tadinya tidak memimpin sekarang menjadi pemimpin.
Pergi dari jama'ah bukan solusi, malah menimbulkan masalah baru dan mengusik pertanyaan baru : Begitu rapuhkah kita dengan janji kebersamaan yang selama ini telah membesarkan kita?
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)" (Surat Al-Ahzab, Ayat 23).
By. Satria Hadi Lubis
Kekecewaan Abu Dzhar Al Ghifari ra atas gaya hidup Khalifah Utsman ra yg berbeda dgn dua khalifah sebelumnya membuat beliau menyingkir dan menyendiri ke Rabadzah sampai akhir hayatnya. Beliau memilih menjadi "oposisi" pemerintahan Utsman bin Affan ra tanpa pernah berniat mengangkat senjata atau keluar dari jama'ah kaum muslimin. Bahkan suatu ketika ia pernah berkata, “Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku.”
Hal yang sama dilakukan Khalid bin Walid ra, ketika diberhentikan Khalifah Umar dari jabatan panglima perang. Khalid tentu kecewa atas keputusan Umar ra, namun kekecewaan tersebut tidak membuat beliau membelot dan melawan Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra. Padahal kalau ia mau, ia bisa memobilisir para prajurit yang masih setia kepadanya untuk melawan pemerintahan Umar ra.
Khalid si pedang Allah tetap ikut berperang sampai akhir hayatnya walau hanya sebagai prajurit biasa. Suatu ketika ia ditanya mengapa tetap berperang walau sudah diberhentikan sebagai panglima perang, beliau menjawab dgn tegas, "Aku berperang bukan karena Umar, tapi karena Allah!".
Lain halnya dengan kisah Wahsyi yang pernah membunuh paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib ra. Wahsyi akhirnya masuk Islam dan meminta maaf kepada Nabi saw atas perbuatannya yang pernah membunuh Hamzah ra. Nabi memaafkan Wahsyi, namun beliau berkata, "Jangan perlihatkan wajahmu lagi di hadapanku setelah ini karena setiap melihatmu terbayang wajah Hamzah bin Abdul Muthallib yang rusak dihancurkan olehmu saat itu”
Wahsyi merasa kecewa di dalam hatinya, namun ia tidak membelot dan melawan Nabi. Wahsyi sadar akan kedudukannya, ridha menerima ketentuan itu. Dia memperbaiki dirinya dan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah.
Sebagai penebus atas dosa-dosanya beliau bertekad untuk tidak akan pulang lagi ke Kota Mekah demi untuk merebut cinta kekasih Allah yaitu Muhammad saw. Wahsyi benar-benar ingin menebus kesalahannya dengan menyebarkan Islam. Niat Wahsyi itu telah dibuktikannya dengan menjelajah ke seluruh pelosok dunia untuk berdakwah mengajak sebanyak-banyaknya manusia memeluk kepada Islam, hingga akhirnya beliau wafat di luar Jazirah Arab.
Begitulah sikap para sahabat jika mereka kecewa terhadap jama'ah kaum muslimin, menepi tapi tidak pergi dari jama'ah. Mereka tetap mengakui kepemimpinan jamaah, tetap taat dan ikhlas beramal untuk jamaah, walau sadar tidak memiliki peran yang signifikan lagi dalam jama'ah.
Sikap semacam inilah yang perlu ditiru aktivis dakwah jika mereka kecewa dengan kepemimpinan jama'ah. Jika tausiyah sudah diberikan, namun qiyadah tetap pada kebijakannya, maka menepi sajalah dan jangan pergi (keluar). Tetaplah bekerja dalam dakwah. Tidak usah membentuk gerakan baru. Selain menguras sumber daya dan waktu, toh rezim kepemimpinan jama'ah juga bisa berubah. Bukankah tidak ada yang abadi di dunia ini? Yang tadinya memimpin sekarang tidak lagi memimpin, begitu pun sebaliknya yang tadinya tidak memimpin sekarang menjadi pemimpin.
Pergi dari jama'ah bukan solusi, malah menimbulkan masalah baru dan mengusik pertanyaan baru : Begitu rapuhkah kita dengan janji kebersamaan yang selama ini telah membesarkan kita?
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)" (Surat Al-Ahzab, Ayat 23).
Langganan:
Komentar (Atom)